HEGEMONI KELAS MENENGAH DALAM
NOVEL LANGIT KIRMIZI DAN MELATI MERAH KARYA A. RAHIM QAHHAR:
PERSPEKTIF CULTURAL STUDIES
Oleh: Saiful
Dosen STBA ITMI Medan
Abstrak:
Penelitian ini
bertujuan membongkar dan merekonstruksi relasi dan tindakan aktor rekacipta pengarang
dalam proses perubahan sosial
budaya yang dijadikan penguatan struktur naratif teks novel, pemosisian yang
strategis bagi kelas menengah dalam memproduksi dan mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya dalam konteks
novel, dan hegemoni kelas menengah dalam perubahan sosial budaya yang direpresentasikan
pengarang dalam teks dan konteks novel Langit
Kirmizi (LK) dan Melati Merah
(MM) karya A. Rahim Qahhar. Analisis dilakukan
dengan triangulasi teori hegemoni, dekonstruksi, dan analisis wacana kritis.
Pendekonstruksian didasarkan pada teori dekonstruksi
Jacques Derrida, sedangkan penghegemonian didasarkan pada teori hegemoni
Antonio Gramsci. Ketiga teori dalam
penelitian ini ditriangulasikan dalam paradigma kritis yang diaplikasikan
secara deskripsi kualitatif dalam format Analisis Wacana Kritis. Sesuai dengan data teks dan konteks,
kelas menengah dalam novel ini berperan sebagai
aktor penting dalam hegemoni, baik sebagai penguatan koersif maupun kultural. Perang posisi kelas
menengah dalam penguatan ideologi,
politik, dan kekuasaan terindentifikasi berjejak signifikan atas relasi aktor rekacipta sastrawan Indonesia dari Kota
Medan dalam novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar
yang diproduksi Malaysia pada periode
1987-1993.
Kata Kunci: hegemoni, kelas menengah, dekonstruksi, wacana
1. PENDAHULUAN
Sejarah manusia adalah sejarah perubahan sosial budaya. Perubahan tersebut
teridentifikasi dari temuan yang berorientasi pada pemertahanan dan perluasan
budaya, baik dengan cara perpindahan budaya, pengaruh budaya, maupun pemaksaan
budaya. Perpindahan budaya terjadi akibat migrasi dari satu tempat ke tempat
lain, seperti tradisi nomaden, transmigrasi, dan urbasisasi. Sebaliknya,
pengaruh budaya terjadi secara sistemik melalui proses pembelajaran dan
pertunjukan budaya lewat institusi pendidikan dan media massa, sedangkan pemaksaan
budaya terjadi melalui proses penguasaan yang terjadi secara politis, bahkan
tanpa persetujuan masyarakat yang terhegemoni dan menghegemoni.
Perubahan
sosial budaya dapat dilakukan oleh setiap manusia, baik berasal dari kelas
bawah, kelas menengah, maupun kelas atas. Posisi kelas bawah yang berada di
bawah garis kemiskinan dan kelas atas sebagai pemegang kekayaan dan kekuasaan
memiliki posisi jelas dan terukur dalam status sosial. Hal ini berbeda dengan
kelas menengah berpotensi menghilang dari status sosialnya. Kelas menengah
bawah berpotensi menjadi kelas bawah dan kelas menengah atas berpotensi menjadi
kelas atas. Sebaliknya, kelas menengah tengah berposisi sebagai pusat kelas
menengah yang jelas dan terukur status sosialnya sebagai kelas menengah karena
hanya dapat berubah status sebagai kelas menengah atas atau kelas menengah
bawah.
Kelas menengah yang terkonsentrasi di perkotaan tidak hanya terjadi dalam
realitas faktual, melainkan
juga dalam realitas rekacipta sastrawan dalam novel ciptaannya. Bahkan, kelas
menengah perkotaan dan pedesaan dihadirkan oleh sastrawan dalam novelnya
sehingga muncul benturan peradaban, perang posisi, yang berisiko terjadi
perubahan sosial budaya, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Fenomena ini
terindikasi terjadi dalam novel LK (Langit Kirmizi) dan MM (Melati Merah) karya
A. Rahim Qahhar yang diterbitkan oleh Marwilis di Malaysia pada periode
1987–1993. Sastrawan tersebut merekacipta tokoh cerita dalam novelnya sebagai
representasi masyarakat kelas menengah, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Bahkan, realitas rekacipta tersebut berhadap-hadapan untuk mempertaruhkan
prestise aktor, baik secara gender maupun latar belakang kultur perkotaan dan
pedesaan.
Penelitian ini dipusatkan
pada teks dan konteks novel dengan tiga rumusan masalah: (1) Bagaimanakah
proses perubahan sosial budaya yang direpresentasikan dalam novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar? (2) Bagaimanakah posisi strategis kelas
menengah memproduksi dan mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya dalam novel
LK dan MM karya A. Rahim Qahhar? (3) Bagaimanakah hegemoni masyarakat
kelas menengah dalam dinamika perubahan sosial budaya yang direpresentasikan
sastrawan dalam teks dan konteks novel LK
dan MM karya A. Rahim Qahhar?
Di dalam teks dan konteks novel, perubahan sosial budaya berpotensi terjadi
setiap saat sehingga sastrawan berpeluang besar merepresentasikan realitas
faktual dalam realitas rekaciptanya pada teks novel. Realitas rekacipta ini
dirangkai oleh bahasa sehingga analisis hegemonik kelas menengah dalam
penelitian ini pun didasarkan pada potensi bahasa. Faktor penguasaan bahasa
yang terepresentasi dalam tindakan tokoh cerita dalam teks novel menjadikan
penelitian ini berbeda dengan penelitian linguistik yang terfokus pada
kelisanan.. Dengan demikian, penelitian berpola cultural studies dengan pentriangulasian teori hegemoni,
dekonstruksi, dan analisis wacana kritis ini dapat mengungkap hegemoni kelas
menengah dalam proses perubahan sosial budaya berdasarkan teks dan konteks
novel LK dan MM karya ARQ yang diproduksi di Malaysia periode 1987–1993.
2. KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini diintegrasikan dalam kaidah yang berlaku pada teori
hegemoni, teori dekonstruksi, serta teori dan metode analisis wacana kritis.
Ketiga teori ini berorientasi pada perubahan sosial dan budaya. Teori hegemoni
berkedudukan sebagai grand theory, teori
dekonstruksi sebagai middle theory, dan
analisis wacana kritis sebagai application
theory.
Secara teoretik,
terdapat tiga konsep dalam teori hegemoni yang digagas oleh Gramsci, yakni
intelektual, perang posisi, dan negara hegemonik. Ketiga konsep tersebut
dihubungkan oleh negosiasi terus-menerus, bukan kekuatan koersif yang dicirikan
oleh pemaksaan dan tindakan kekerasan. Konsep pertama, Gramsci (1992)
memosisikan intelektual tradisional sebagai pelegalitas kekuasaan negara dan
pengabdi kelompok penguasa. Intelektual ini terdiri atas filosof, sastrawan,
ilmuwan, dokter, guru, agamawan, dan pemimpin militer. Sebaliknya, intelektual
organik sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas
terhegemoni. Konsep kedua adalah perang posisi. Perang posisi memunculkan blok solidaritas dan negosiator. Konsep ketiga adalah negara
hegemonik. Secara hegemonik, negara dalam terminologi Gramscian terdiri atas
masyarakat sipil dan masyarakat politis.
Teori Dekonstruksi
digagas oleh Derrida (1997) dengan mengembangkan kritik terhadap filsafat Barat
yang logosentris dan beroposisi biner. Kritik Derrida terhadap logosentris
diikuti pendekonstruksian terhadap oposisi biner, sehingga tidak ada satu pusat
dan tidak ada yang lebih penting daripada memberi kontribusi terhadap posisi
terkini. Derrida pun mendekonstruksi teks dengan konsep “jejak” dan “penundaan”
yang memunculkan instabilitas makna, ketertundaannya lewat ketersalingkaitan
teks sebagai sesuatu yang penting dalam rekonstruksi teks dan konteks keberaksaraan.
Teks dan konteks berkaitan erat dengan wacana dalam teori dan metode
analisis wacana kritis. Fairclough menganalisis wacana dengan pola tiga
dimensi: teks, discourse, dan sociocultural practice. Di dalam praktik
CDA, Fairclough (2003) mendeskripsikan aspek-aspek linguistik yang membangun
teks. Pertama, deskripsi yang
merupakan tingkatan yang berhubungan dengan sifat formal teks. Kedua, interpretasi berkaitan dengan hubungan
antara teks dan interaksi –yang melihat teks sebagai suatu produk proses
produksi, dan sebagai
sumber dalam proses interpretasi. Ketiga,
eksplanasi berkaitan dengan
hubungan antara konteks interaksi dan sosial.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis. Menurut Guba dan Lincoln
(2009), secara metodologis, paradigma kritis bersifat dialogis dan dialektis
agar dapat mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman dengan, “Tujuan penelitian adalah kritik dan transformasi struktur sosial,
politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang mengekang serta menindas umat
manusia, melalui keterlibatan dalam upaya perlawanan, bahkan konflik.”
Kincheloe dan McLaren (2009) menegaskan bahwa penelitian kritis harus dikaitkan
dengan usaha penentangan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.
Keterkaitan paradigma kritis dengan kekuasaan relevan untuk mendekonstruksi
novel LK dan MM karya ARQ terbitan Marwilis (Malaysia) sebagai bahan penelitian
ini. Oleh karena itu, analisis data penelitian
ini dilakukan dengan teknik analisis naratif dan dekonstruktif dalam kerangka
analisis wacana kritis. Menurut Strokes (2003), “Analisis naratif adalah nama yang diberikan bagi induk beragam
metode yang meneliti struktur naratif dari teks apa pun. Analisis naratif
merupakan bagian integral dalam penganalisisan karya sastra sebagai teks.
Sebaliknya, analisis dekonstruktif merupakan teknik penganalisisan dengan
pembongkaran data-data yang bersifat oposisi biner dalam teks dan konteks.
Berdasarkan kedua model analisis dilakukan analisis wacana kritis yang
dikembangkan Fairclough (1995) dengan menempatkan tiga strata analisis: teks,
konteks, dan sosiokultural.
4. HASIL PENELITIAN
Novel rekacipta ARQ yang
dijadikan sumber data penelitian ini diberi judul LK dan MM. Kedua novel
diberi judul dengan penjelasan yang tidak setara dalam deskripsi cerita. Judul
novel LK diberi deskripsi sedangkan
judul novel MM tidak diberi deskripsi
secara eksplisit dalam penceritaan. Frasa langit
kirmizi merupakan penanda yang biasa muncul waktu senja pada tahap plot
mencapai denoument penceritaan novel LK.
Secara semiotik, frasa langit kirmizi memberi pertanda bahwa
waktu istirahat telah tiba sehingga secara konteks terjadi masa istirahat untuk
pulang ke rumah bagi pekerja. Akan tetapi, tokoh cerita dalam novel LK masih terpaksa bekerja -menunggu
kelahiran anak dari istri kedua dan cucu dari putri tanpa suami yang sah-
sehingga tidak dapat menikmati waktu istirahat. Sementara itu, perekacipta
memberi judul novelnya yang lain dengan nama bunga yang tidak biasa, melati merah. Konteks bunga melati yang
berwarna putih diubah berwarna merah oleh perekacipta. Di dalam novel MM, memang tidak terdapat frasa melati merah sebagaimana frasa langit kirmizi dalam novel LK.
Pemaknaan semiosis judul
dua novel rekacipta ARQ mempertegas ada perang posisi protagonis dengan
antagonis. Hegemoni tersebut dapat diungkap secara verifikatif dalam tiga
tahap. Pertama, proses perubahan
sosial budaya teridentifikasi melalui representasi kosakata, relasi partisipan,
dan identitas aktor. Kedua, posisi strategis kelas menengah
teridentifikasi dalam konteks situasional dan tipe diskursus, konteks interaksional, serta struktur skematika novel. Ketiga, hegemoni kelas menengah dalam
level sosio budaya,
institusional, dan sosial.
4.1 Proses Perubahan
Sosial Budaya
Perubahan sosio budaya menjadi tema sentral novel LK dan MM karya ARQ.
Sebaliknya, terdapat tiga tema pendukung sentral representatif, yakni
kepemimpinan hegemonik, kenakalan remaja, dan stabilitas politik. Proses
perubahan yang terjadi adalah perubahan sosial budaya masyarakat kelas menengah
yang berlatar belakang budaya agraris menuju budaya industri. Di dalam teks,
gaya hidup modern masyarakat industri berlangsung pada latar kekinian, sedangkan gaya hidup
tradisional masyarakat agraris terjadi dalam latar flashback, masa lalu. Dengan demikian, masa lalu aktor perubahan
sosial budaya dijadikan landas tumpu dalam pembentukan pola hidup yang dibentuk
dalam proses perubahan sosial budaya, sehingga dengan pengpenelitian masa lalu terhadap
kondisi terkini diharapkan terjadi keberlangsungan yang ideal terhadap
pembentukan format sosial budaya modern.
Proses perubahan sosio budaya dalam
teks LK terkendala oleh kekuatan
hegemonik protagonis dan antagonis. Kekuatan hegemonik itu terpresentasi oleh
keinginan untuk bergaya hidup modern. Akibat tidak terjadi negosiasi yang saling menguntungkan, maka perebutan
pengaruh untuk menghegemonikan kekuasaan tersebut berlangsung terus-menerus.
Secara tekstual, dalam novel LK dapat
diidentifikasi
dari tindakan protagonis Rahmadi mengajak, membujuk, dan memaksa antagonis
Sinah untuk mengubah gaya hidup kelas menengah pedesaan yang tradisionalistik
menuju gaya hidup perkotaan yang modernistik. Sebaliknya, Sinah sebagai
antagonis LK merepresentasikan
intelektual pedesaan yang bersahaja, tetapi bertanggung jawab terhadap kebutuhan sandang dan papan bagi
anak-anaknya. Jadilah, Rahmadi sebagai representasi intelektual perkotaan yang
konsumtif, seperti membeli penganan dan berwisata, berseberangan dengan
istrinya, yang menginginkan pengonsumsian makanan dimasak sendiri dan biaya
wisata keluarga dialihkan untuk kebutuhan primer keluarga.
Tegangan hegemonik LK semakin memuncak oleh penolakan Sinah
mengikuti kegiatan istri pegawai negara di kantor suaminya. Sinah yang
merepresentasikan rakyat yang tertindas menjadi pengganggu hegemoni Rahmadi
dalam kapasitas sebagai pejabat perbankan yang wajib menyertakan istri dalam
perkumpulan istri pegawai negara di kantornya. Oleh karena itu, perang posisi
yang terjadi antara Rahmadi yang merepresentasikan intelektual perkotaan
berstatus aparatur negara dengan Sinah yang merepresentasikan intelektual
pedesaan menemui jalan buntu.
Konsekuensinya, perceraian
antara protagonis dengan antagonis dalam LK
terjadi dan berimplikasi pada perubahan status sosial budaya mereka.
Tindakan Rahmadi bercerai dengan Sinah melanggar PP 10/1983. Realitas fiksi
novel LK tersebut berkonteks dengan
realitas faktual sistem kepegawaian di Indonesia.
Sebaliknya, perubahan
sosio budaya dalam novel MM tidak sampai mengubah perubahan
status sosial budaya sebagaimana terjadi dalam novel LK. Perubahan dalam teks dan konteks novel MM bermula dari keharmonisan komunikasi keluarga menghadapi dampak
modernisasi. Modernisasi pada awalnya masih berhasil dikendalikan oleh
protaginis LK dan MM. Akan tetapi, perang posisi yang
terjadi antara ayah dan ibu di satu pihak dengan anak dan teman sebaya di pihak
lain berakibat pada keterputusan komunikasi dalam keluarga inti. Akibatnya,
muncul prasangka buruk anak terhadap orang tua maupun prasangka buruk orang tua
terhadap anak dan teman sebayanya. Secara tekstual, kondisi tersebut diperburuk
oleh kebijakan negara yang direpresentasikan institusi pendidikan yang tidak
berpihak pada perlindungan anak telah mengakibatkan kehidupan kelas menengah
perkotaan mengalami hambatan yang signifikan dalam memenangkan perubahan sosial
budaya.
Persoalan anak menjadi
masalah dalam proses perubahan sosio budaya, baik dalam teks dan konteks novel LK maupun MM. Di dalam teks dan konteks LK,
anak-anak Rahmadi dan Sinah sebagai representasi generasi muda mengalami
kegalauan, kehilangan identitas. Pemunculan aksi Mita yang merepresentasikan
anak-anak muda yang suka menari breakdance.
Breakdance menurut Wikipedia (2015), breakdance, breaking, b-boying atau b-girling adalah gaya tari jalanan yang muncul
sebagai bagian dari gerakan hip hop di antara African American dan anak muda dari Puerto Rico yang dilakukan di bagian selatan New York
City yang brutal pada tahun 1970. Pada umumnya tarian ini
diiringi lagu hip hop, rap, atau lagu remix (lagu yang
diaransemen ulang).
Pemunculan kenakalan
remaja merupakan dampak dari budaya modern yang mengubah pola hidup masyarakat
tradisional. Umpamanya, pesona breakdance
tahun 1980-an di Kota Medan yang tidak dapat dihindarkan oleh anak-anak muda
dari kelas menengah yang disebut oleh masyarakat sebagai OKB. Tari modern ini
menjadi pilihan dalam teks dan konteks novel LK. Sementara itu, dalam teks dan konteks novel MM terjadi aksi kenakalan remaja sebagai
akibat peredaran film porno. Peredaran film porno di bioskop-bioskop Kota Medan
beralih pada produksi CD sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat di rumah
masing-masing. Bahkan, muncul pembajakan CD yang masif di berbagai daerah
sebagaimana dalam operasi tangkap tangan terhadap penjualan CD porno oleh
Kepolisian Daerah Sumatera Utara di beberapa lokasi penjualan CD.
Secara ideologis, kata-kata untuk
merepresentasikan kondisi sosial budaya kelas menengah dalam novel LK karya ARQ memunculkan relasi
pemaknaan. Relasi makna kata tersebut muncul dalam bentuk antonim, sinonim, dan
hiponim. Antonim dalam novel ini memberi legitimasi pada oposisi gender.
Misalnya, “Ya, kita tunggu! Hitam atau
putih harus kita tunggu! Merah atau hijau harus kita tunggu!” (LK:137) Kata ‘hitam’ berantonim dengan
‘putih’, ‘merah’ dengan ‘hijau’. Sebaliknya, sinonim terdapat dalam novel LK karya ARQ. Misalnya, “Kan abang sudah bilang, berterus terang
adalah jalan satu-satunya yang paling baik supaya segala persoalan akan menjadi
terang-benderang.” (LK:139)
Pemunculan sinonim ini merupakan antitesis dari pemunculan antonim yang mengacaukan pengutamaan hal
yang disebut pertama dalam pasangan antonim tersebut.
Kehiponiman terdapat pada
kata-kata “begendak”, “main perempuan”, dan “menciptakan anak haram” sebagai
satu kesatuan asosiasif dari kata “menyeleweng”. Kata “menyeleweng” dalam
konteks ini berkonotasi penyimpangan hubungan suami-istri, bukan penyimpangan
tugas dan kewajiban dalam pekerjaan. Kehiponiman dalam teks LK lebih banyak dipergunakan oleh
antagonis terhadap perilaku protagonis.
Di samping penggunaan
sinonim, antonim, dan hiponim, majas eufemisme banyak dipergunakan dalam
komunikasi kelas menengah. Eufemisme merupakan gaya berbicara yang memunculkan
kesan santun dan tidak kejam. Eufemisme tersebut dilakukan untuk penenangan
dampak perselingkuhan Rahmadi dengan Warni. Hal tersebut dapat diidentifikasi
dari penggunaan kata-kata “Persahabatan
lebih tinggi dari perkahwinan, Warni! Berapa banyak orang yang melakukan perkahwinan
tapi tak menemukan persahabatan. Perkahwinan hanya dianggap sebagai alat
penyatu bagian kedua makhluk yang berlainan jenis. Hanya perkahwinan raga.” (LK:141) Penjustifikasian terhadap perselingkuhan yang dianggap
sebagai persahabatan telah mengekalkan hubungan protagonis dengan Warni.
Kata-kata bernuasa
ideologi dalam MM berbeda dengan
ideologi dalam novel LK karya ARQ.
Ideologi dalam MM dipusatkankan oleh
tindakan Melati sebagai anak dari keluarga kelas menengah perkotaan. Di dalam
menghadapi progresivitas Melati sebagai representasi anak-anak muda, ibunya
yang bernama Dahlia –sebagai
representasi keteladanan ibu- menyiapkan dan memimpin generasi muda
tersebut dengan pemilihan kata-kata yang bermakna baik, seperti bangun lebih
cepat, lebih cantik, lebih bersih, dan kata-kata yang membangkitkan vitalitas
remaja: gejolak, tatapan, wanita, dan laki-laki. Kata-kata tersebut terjalin
dengan mengutamakan perasaan yang setoleran-tolerannya dari seorang perempuan
dewasa kepada perempuan remaja.
“Mungkin sama dengan
keadaanmu sekarang Mel. Dulu ibu juga amat gembira. Ibu bangun lebih cepat dari
biasa. Tapi tidak langsung ke kamar mandi. Ibu berkaca di depan cermin berulang
kali, mematut-matut wajah dan tubuh ibu. Perasaan saat itu, wajah ibu terasa
agak lebih cantik dari sebelumnya. Seperti kata orang, kalau mahu melihat wajah
orang yang asli, tunggulah ketika dia bangun tidur! Dan ini bisa ibu buktikan.
Wajah ibu memang lebih cantik. Lalu ibu pun
terus mandi bersih-bersih. Habis air satu tong lebih. Padahal biasanya
pun terus mandi bersih-bersih. Habis air
satu tong lebih. Padahal biasanya cukup separuh. Waktu itu ibu berfikir, harus
lebih bersih dan harus selalu bersih. Lebih bersih. Lebih rapi. Lebih teliti
dari hari-hari sebelumnya. Sebab, ibu beranggapan kalau selama ini ibu
berpakaian untuk ibu sendiri, mulai saat itu ibu sedar bahawa ibu berpakaian
juga untuk orang lain. Semua mata akan memerhatikan. Mel, barangkali kau juga
merasakan demikian ketika sekolah tadi. Tidak apa-apa. Itu biasa, hanya naluri
wanita cenderung untuk selalu diperhatikan. Jadi perasaan seperti itu lumrah
bagi kaum wanita. (MM:19)
Secara ideologis, teks MM menyediakan wacana religiositas,
seperti pemunculan kata-kata “hadis”, “hadis
Nabi”, dan “hukum alam”. Hal ini relevan dengan latar belakang keluarga Kurnia
sebagai representasi keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu,
pemunculan kalimat: “Dan Tuhan memang
adil! Tuhan memang Maha Bijaksana!” (MM:29)
Akan tetapi, pemunculan kosakata religius tersebut kontradiksi dengan
pemunculan kata negatif dalam kalimat berikut, “Dicubanya mengingat daftar pelajarannya besok. Beberapa saat
terhening. Babi! Tidak satu mata pelajaran yang diingatnya.” (MM:50) Pemunculan kata “babi” dalam
terminologi kehidupan kelas menengah yang santun dan religius dalam teks MM jelas melanggar etika masyarakat
Islam yang berpegang teguh pada ajaran Islam.
Di samping sikap religius
dalam percakapan teks dan konteks yang bersisian dengan agama Islam yang dianut
mayoritas kelas menengah di Kota Medan, teks MM karya ARQ juga menyediakan antomim dan sinonim. Penggunaan
antonim terlihat dengan pemunculan pasangan kata “suami-istri”, dan
“tertawa-menangis” sebagai suatu penghancuran terhadap pengutamaan terhadap
pemaknaan yang disebut pertama seperti dalam konsep dekonstruksi Derrida. Hal
ini dapat diidentifikasi dalam peristiwa berikut.
Menghadap ke halaman,
sepasang suami isteri itu sama menatap rumput baldu yang menghampar hijau.
Pandangan itu terus melangkah ke pinggir jalan raya. Petang itu, entah kenapa
tidak kelihatan kanak-kanak bermain kasti. Padahal biasanya, suara kanak-kanak
itu demikian riuh kedengaran. Kadang tertawa. Kadang bertengkar. Lalu tertawa
lagi. Lalu ada yang menangis. Kemudian ada pula yang mengetawakan. (MM:34)
Di samping penggunaan
antonim, teks MM menyediakan sinonim
sebagaimana terjadi dalam dialog di kelas pembelajaran berikut ini.
“Kecil!”
“Mungil!”
“Secuil!”
“Persil!”
“Kantil!”
“Degil!”
“Ha,
semua kata-kata itu bermakna kecil!” jelas sang Guru. “Bakhil, cikgu!” seru
yang lain. (MM:37)
Bahkan, pengetahuan makna
kata dalam teks MM diperkuat oleh pemakaian repetisi sebagaimana dalam
peristiwa berikut, “Terlambat bangun.
Terlambat menghadap wastafel. Terlambat mandi. Terlambat sarapan. Terlambat
pergi ke sekolah. Terlambat mengerjakan pe-er. Pendeknya semua serba
terlambat.” (MM:60)
Di samping penggunaan
eufemisme, istilah religius, antonim, sinonim, dan repetisi, teks MM menyediakan metafora. Misalnya, “Bukankah sekarang sudah zaman Columbia?
Bukan zaman kereta lembu lagi! Begitu kira-kira fikir Melati.” (MM:15) Bahkan, “Lambaian yang membuat dada muda si mungil itu kembali bergelombang,
walau tidak sehebat ombak Tanjung Pinang.” (MM:49). Ungkapan lain adalah “si tahi kambing” sebagaimana
memperoleh pemaknaan sesuatu yang mirip dalam kutipan berikut ini, “Dulu pernah
seorang gadis tetangganya sempat diberi julukan “si tahi kambing”, hanya
disebabkan tahi lalat di pipinya semakin membesar.”
Setelah melakukan
pembahasan representasi perubahan sosial budaya terhadap teks dan konteks novel
LK dan MM karya ARQ maka terdapat
pola hegemonik yang dimunculkan oleh perekacipta dalam novel LK dan MM karya ARQ adalah penggunaan ungkapan tradisional. Di dalam novel
LK, muncul metafora, “cicak senggama tidak pernah jatuh!” (LK: 37 dan 207) sedangkan dalam dialog
Melati dengan ibunya pada teks MM muncul
ungkapan tradisional yang metaforis, “Guru
bahasa mengajarkan –Sambil menyelam minum air-, atau –Sekali merangkuh dayung
dua tiga pulau terlampaui-“ (MM:147). Bahkan, dalam LK dan MM karya terdapat ungkapan tradisional yang berkonteks dengan ayat
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Misalnya, deskripsi tentang firman
Allah berkaitan dengan hubungan suami-istri dalam LK berikut ini.
“Semai ladangmu sesuka
hatimu!” Itu sebuah firman.
Kurnia sudah berusaha
memugal ladangnya dengan pelbagai cara. Namun lebih sudah tiga belas tahun.
Dari musim penghujan, musim rontok ke musim dingin, sampai ke musim kering.
Sampai beribu musim yang telah berlalu, namun bibit yang mereka tanam tidak
kunjung tumbuh. Padahal ladang tidak salah. Bibir juga tidak salah. (MM:34-35)
Peristiwa
di atas memperlihatkan kesamaan dengan ayat Al-Qur’an dalam menyikapi hubungan
suami-istri yang dilakukan oleh Kurnia-Dahlia. Mereka merindukan anak lagi
setelah anaknya, Melati, tumbuh menjadi remaja
yang bersekolah SMP. Oleh karena itu, Kurnia sebagai kepala keluarga berusaha
menjalankan ajaran agama Islam dan menjaga kesehatannya. Pemunculan kalimat, “Semai ladangmu sesuka hatimu!” dalam
teks MM berkesejajaran dengan konteks
ayat Al Qur’an surat al-Baqarah (2):223.
Artinya:
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak
akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Berdasarkan penjelasan di
atas, representasi perubahan sosial budaya dalam teks teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ didasarkan atas sikap religius keislaman kelas
menengah di Medan. Kelas menengah ini memiliki hubungan kekerabatan dengan
warga Malaysia. Di dalam menghegemoni, aktor perubahan sosial dan budaya dalam
kedua novel merepresentasikan diri dengan ungkapan tradisional serta kekuatan
eufemisme, repetisi, sinonim, antonim, dan metafora. Perekacipta ingin
berbahasa dengan pelambangan, sehingga maksud sebenarnya dari tindakan protagonis dan antagonis teks novel
harus dihubungkaitkan dengan situasi kenegaraan dan keislaman di Indonesia dan
Malaysia. Dengan demikian, terdapat pola perepresentasian teks dan konteks
kedua novel, yakni mengandalkan ungkapan tradisional dalam menghegemoni orang
lain.
4.2 Posisi Strategis
Kelas Menengah
Perubahan sosiobudaya
dalam teks LK dan MM karya ARQ merupakan bagian yang
menyatu dengan pemunculan budaya popular di Indonesia, khususnya masyarakat di
Kota Medan. Hal ini ditandai dengan pemunculan kelompok. Konteks situasional
dan tipe diskursus dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ
berasal dari masyarakat Kota Medan pada tahun 1980-an. Secara tekstual,
masyarakat Kota Medan sedang mengalami perubahan sosial budaya dari masyarakat
agraris yang tradisional menuju masyarakat industri yang modern. Modernitas
tersebut ditandai oleh penggunaan penemuan baru, seperti Vesva sebagai moda
transportasi elite kelas menengah dan permainan bulutangkis sebagai olahraga
popular yang hadir di perkantoran.
Pada hakikatnya, novel MM karya ARQ juga memiliki konteks
situasi masyarakat Kota Medan tahun 1980-an. Aspek yang direpresentasikan dalam
novel ini adalah perubahan sosial budaya dalam kehidupan kelas menengah
partikelir. Hal ini terepresentasi dalam apa yang dihadapi oleh Kurnia dengan
istri dan anaknya. Kurnia yang bekerja sebagai pejabat perusahaan swasta
perfilman menghadapi perubahan sosial budaya yang cepat dan berpengaruh besar
dalam keluarganya. Kurnia sebagai protagonis mendapat bantuan dari Dahlia
sebagai istrinya dalam menghadapi progresivitas Melati yang melakukan
pemberontakan terhadap fungsi institusi dan model budaya. Melati sendiri
didukung oleh remaja yang tergabung dalam kelompok musik bentukannya. Di luar
mereka terdapat aparatur pemerintah seperti guru dan dokter serta aparatur
swasta seperti pengusaha.
Misalnya, bertanya tentang
detail menstruasi, larangan wanita hamil untuk sekolah, dan ketidakterbukaan
orang tua dalam menceritakan masalah seksual. Akibat tabu tersebut, remaja
mengalami keterbatasan informasi dan ketidaktahuan tempat penyaluran
pertanyaan, sehingga remaja terjebak pergaulan bebas dan pemberontakan terhadap
budaya bangsanya sendiri.
Di dalam hal ini,
perekacipta memberikan solusi menghadapi situasi tersebut dengan hijrah ke
Malaysia. Ketika itu, Malaysia dipandang sebagai negara berpenduduk muslim yang
taat sehingga dapat mengubah persepsi dan dapat menutup rasa malu yang akan
muncul dari kehamilan Melati. Penghijrahan ini menandai denoument dalam penceritaan novel yang bergerak menuju pembentukan
institusi sosial dan budaya yang lebih bermartabat. Dengan demikian, proses
perubahan sosial budaya dapat dilanjutkan ke arah yang lebih baik dengan proses
rehabilitasi korban perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Kota
Medan.
Di antara problematika itu
dihadapi oleh Melati, pelajar SMP di Kota Medan, dalam teks MM. Misalnya, Melati bertanya tentang
detail menstruasi, larangan wanita hamil untuk tetap sekolah, dan
ketidakterbukaan orang tua dalam menceritakan masalah seksual. Akibat tabu
tersebut, remaja mengalami keterbatasan informasi dan ketidaktahuan tempat penyaluran
pertanyaan, sehingga remaja terjebak dalam pergaulan bebas dan pemberontakan
terhadap budaya bangsanya sendiri. Hal ini menjadi permasalahan dalam sistem
pendidikan di Indonesia terkait dengan pendidikan seks.
Kehidupan dalam novel LK dan MM yang direkacipta ARQ bersisian dengan kehidupan dalam konteks
kewartawanan dan kesastrawanan di Kota Medan. ARQ merekacipta perubahan sosial
masyarakat Indonesia yang berterima di Malaysia karena kedua novel tersebut
akan diterbitkan oleh Marwilis di Malaysia. Negosiasi produksi novel tersebut
terjadi dalam pertemuan sastrawan dari Sumatera Utara dan Utara Malaysia
bertajuk “Dialog Utara”.
Penghindaran diri dari
konflik SARA menjadikan diskursus dalam novel LK dan MM karya ARQ
berkaiteratkan dengan konflik cinta dan keluarga. Praktik kewacanaan yang
direkacipta oleh ARQ dalam novel LK berpusat
pada perang posisi kepemimpinan dan kepemudaan. Diskursus kepemimpinan
menyangkut-pautkan diskursus
laki-laki dan perempuan, suami dan istri, anak dan orang tua, serta kelas atas,
kelas menengah, dan kelas bawah. Untuk kelas sosial, keberadaan kelas bawah
tidak ditampilkan dalam novel, sehingga terjadi oposisi biner antara kelas
menengah dan kelas atas.
Meskipun tidak
bertentangan dengan agama dan tetap bersedia memberi nafkah lahir dan batin,
tetapi tindakan Rahmadi bertentangan dengan PP 10. Oleh karena itu, Rahmadi
harus mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dengan mengundurkan diri sebagai
pejabat bank pemerintah.
Pengunduran diri Rahmadi
sebagi pejabat bank tidak serta merta menghilangkan status
kepemimpinannya. Perang posisi untuk menjadi pemimpin pada rumah tangga yang
mereka bina justru semakin memuncak. Baik Rahmadi maupun Sinah bersikeras
menjadi penanggung jawab anak-anaknya tanpa ada yang mau mengalah. Pada konteks
situasional tersebut, anak menjadi korban kepemimpinan orang tua memasuki
kehidupan modern.
Diskursus dalam novel MM karya ARQ berpusat pada kepemimpinan
laki-laki yang diperankan oleh Kurnia, pejabat importir film di Kota Medan. Di
dalam pola kepemimpinan tersebut, Kurnia lebih mengutamakan pengonsumsian
produk budaya material barat, sehingga terjadi proses pemenuhan produk terbaru,
misalnya mengganti Vesva dengan Honda atau penyewaan kaset film barat terbaru.
Pemenuhan barang konsumsi yang bersifat hedonik ini terbukti memunculkan
persepsi kemewahan kelas menengah. Akan tetapi, pemenuhan tersebut memunculkan
pengabaian terhadap konsumsi batin, sehingga terjadi ketidakbersambungan arus
komunikasi yang efektif. Ketidakefektifan komunikasi ideologis menimbulkan
gugatan terhadap kepemimpinan laki-laki. Gugatan dalam novel MM dilakukan oleh perempuan bernama
Melati yang berstatus pelajar SMP.
Kepemimpinan laki-laki
menjadi pro dan kontra karena tercantum dalam QS al-Nisâ’:34 yang artinya tertera
berikut ini.
Kaum
laki-laki itu adalah gawwâmûn (pemimpin)
bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian lain, dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh
karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kami khawatiri nusyûz-nya (pelanggaran kewajiban suami
istri), nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Berdasarkan penjelasan di
atas, ideologi kapitalisme yang dikembangkan oleh perusahaan tempat kelas
menengah bekerja tidak disadari oleh Kurnia sebagai faktor sebab kehancuran
moralitas bangsanya sendiri, bangsa Indonesia. Hal yang sama terjadi pada
kehidupan Rahmadi yang menumbuhkembangkan gaya hidup modern untuk menggantikan gaya hidup
tradisional. Oleh karena itu, Kurnia dan Dahlia pun cepat bertindak, yaitu
memindahkan Melati untuk sementara waktu ke Malaysia, sebagai hal yang tidak
dilakukan oleh Rahmadi yang sama-sama memiliki hubungan kekerabatan dengan
warna negara Malaysia. Dengan demikian, kondisi sosial budaya yang terbina di
Indonesia tetap terjaga dan berjalan stabil sesuai dengan politik stabilitas
nasional pemerintah.
4.3 Hegemoni Kelas
Menengah
Hegemoni kelas menengah
dalam penelitian ini didasarkan pada teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ. Novel LK
dan MM karya ARQ memunculkan hegemoni
kelas menengah, baik pada level institusional maupun level sosial. Secara
institusional, politik dharma wanita dan stabilitas politik direpresentasikan
dalam kehidupan kelas menengah. Sebaliknya, secara sosial terjadi hegemoni
negara yang melakukan tindakan represif terhadap rakyat dan secara kultural
terjadi hegemoni budaya popular yang menghegemoni budaya tradisional.
a. Hegemoni Level Sosial Budaya
Hegemoni kelas menengah
pada level sosial budaya difokuskan pada dampak perubahan sosial budaya.
Konteks LK karya ARQ ditandai oleh
kehadiran Dharma Wanita dan brekadence. Dharma Wanita adalah program negara yang disosialisasikan
oleh Rahmadi sebagai representasi pejabat kelas menengah kepada Sinah sebagai
istri pejabat bank. Sebaliknya, latihan tari barat modern brekadence adalah program budaya yang dilakukan oleh Mita dan
teman-temannya.
Pemberian kebebasan
kreatif dari ibu rumah tangga kepada anaknya yang dilakukan tanpa kontrol
berdampak negatif. Hal itu terlihat dari pemunculan tari brekadence tahun 1980-an dalam teks dan konteks novel LK di Kota Medan menjadi alternatif
kebosanan remaja terhadap tari tradisional Indonesia. Remaja mulai membuat
kelompok brekadence meskipun tidak
didukung oleh orang-orang tua.
Dari level sosial budaya
aparatur negara muncul budaya negatif berbentuk “pamer kekayaan” dan “cari
muka”. Hal ini sesuai dengan konteks novel MM
karya ARQ terjadi sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan globalisasi
budaya barat yang ditopang oleh pemunculan institusi nonformal. Kemajuan
teknologi yang ditemukan dalam teks dan konteks MM adalah sepeda motor bebek terbaru, peralatan musik, moda
transportasi udara, teknologi pemutar rekaman musik, dan alat pendeteksi kehamilan. Hasil temuan
teknologi tersebut menjadi penanda kemewahan masyarakat sehingga menjadi target
kepemilikan masyarakat kelas menengah.
b. Hegemoni Level Institusional
Hegemoni kelas menangah
pada level institusional dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ
terjadi akibat pembentukan instansi
pemerintah dan diikuti oleh instansi swasta selama masa Orde Baru. Pemunculan
institusi negara dalam teks dan konteks kehidupan masyarakat Kota Medan. Institusi tersebut antara
lain bank dan pertamina, militer, polisi, dan preman, bioskop dan vokal grup,
negara Indonesia dan Malaysia, serta institusi wirausaha kost, sudaco (angkutan kota), dan apotek. Bahkan,
perekacipta menghadirkan institusi BP-4 (Badan Penasihat Perkawinan dan
Perceraian). Kehadiran institusi negara dan swasta tersebut menghegemoni
masyarakat untuk bergantung atau berkemandirian. Pilihan pertama dilakukan oleh
protagonis, sedangkan pilihan kedua
diambil oleh antagonis sejak awal hingga akhir penceritaan novel.
Pemunculan institusi
negara untuk menegosiasikan ideologi berdampak buruk pada orang-orang yang
tidak sepersepsi. Oleh karena itu, protagonis menerima tawaran pengunduran diri
dari pekerjaannya sebagai aparatur negara karena melanggar PP 10. Hegemoni
institusi negara dalam teks dan konteks LK
dapat dilihat dari kepolisian negara. Polisi yang bertugas menjaga keamanan
dan ketertiban kota menjadi institusi alternatif pengaduan dan bukan tempat
utama pengaduan.
Penggunaan institusi
penjara di Jalan Gandhi Medan sebagai cara investigasi yang bermaksud
menghegemoni keberanian orang lain menjadi ketakutan. Akan tetapi, bagi remaja
yang tidak terikat kedinasan dengan institusi negara tidak berdampak signifikan
karena terjadi perlawanan dari remaja yang tidak takut ditangkap polisi dan
tentara. Bahkan, dalam kasus tertentu, institusi negara coba dihindarkan oleh
masyarakat, sebagaimana kutipan berikut, “Mengadu
ke polisi. Atau dilawan. Pendeknya perbuatan begitu itu salah.” (LK:18)
Sebaliknya, konteks novel MM karya ARQ didominasi oleh sekolah.
Sekolah menjadi institusi yang diharapkan oleh masyarakat agar mampu mendidik
anak-anaknya. Di samping sekolah, kader-kader kelurahan dalam menggalakkan
program PKK dan kader BKKBN menghegemoni wanita. Dahlia sebagai kader Keluarga
Berencana menjadi tercela karena hamil lagi pada saat anaknya telah memasuki
usia SMP.
c.
Hegemoni Level Sosial
Hegemoni kelas menengah pada level sosial
dalam teks dan konteks novel LK karya
ARQ ditandai oleh penerimaan masyarakat terhadap ideologi negara sebagai qonditio sine quanon pada keluarga
aparatur sipil negara. Ideologi negara yang berkembang dalam teks dan konteks
novel adalah menumbuhkembangkan stabilitas politik dan keamanan dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat. Ideologi tersebut dinegosiasikan dalam kegiatan
Dharma Wanita dan birokrasi institusi negara.
Pada teks LK, ideologi negara menyusup dalam
tindakan intelektual tradisional mendapat perlawanan dari intelektual organik.
Intelektual tradisional diposisikan oleh protagonis Rahmadi yang bekerja
sebagai pejabat keuangan Bank Surya Emas dan Yunus yang bekerja sebagai staf
Bea Cukai. Sebaliknya, intelektual organik diposisikan oleh antagonis Sinah
sebagai istri pejabat bank dan Mita sebagai anak pejabat bank.
Akibatnya, masyarakat
tidak peduli terhadap gagasan perubahan
sosial budaya yang diperankan oleh kedua pihak. Bahkan, masyarakat membiarkan mereka
menyelesaikan skandal perkawinan suami dan anak yang menyalahi hukum. Negara
tidak terlibat lagi dalam penghegemonian tersebut meskipun mereka masih
berperilaku sebagai penghegemoni yang mendapat sokongan negara.
Kesesuaian ideologi
pebisnis dengan ideologi pemerintah menjadikan protagonis Kurnia sebagai
representasi aparatur sipil negara yang tidak terikat kedinasan dengan
pemerintah. Sebaliknya, antagonis Melati yang melakukan gugatan terhadap
institusi negara untuk menciptakan kebebasan berbudaya berposisi sebagai
intelektual organik yang peduli dengan aspirasi rakyat.
Sementara itu, hasil
teknologi memberi kemudahan masyarakat untuk menonton film, baik di bioskop
maupun di rumah. Film-film yang beredar dalam teks dan konteks MM adalah film-film semiporno, bahkan
tersedia CD film porno yang dapat ditonton masyarakat di rumah masing-masing.
Secara kontekstual, korban dari peredaran film porno ini mendapat sorotan dalam
novel. Perekacipta melakukan isolasi terhadap korban. Misalnya, pemindahan korban
perubahan sosial budaya ini memberi indikasi telah muncul dampak sosial budaya
barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Indonesia.
5. SIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan terhadap novel LK dan MM karya ARQ, ditemukan tiga simpulan. Pertama,
proses perubahan sosial budaya dalam novel LK
dan MM karya ARQ terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara ditentukan oleh ketahanan budaya dalam keluarga.
Proses tersebut dilakukan dalam perang posisi protagonis dan antagonis kelas
menengah perkotaan, baik perebutan hegemoni kepemimpinan maupun menyebarluaskan hegemoni gaya hidup modern.
Perubahan sosial budaya tersebut menjadikan budaya industri sebagai latar waktu
terkini penceritaan, sedangkan
budaya agraris sebagai latar flashback
penceritaan. Di dalam memberhasilkan proses perubahan terdapat korban peradaban
modern yang tidak mampu keluar dari krisis.
Kedua, kelas menengah memiliki posisi yang strategis untuk memproduksi dan
mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya sesuai dengan praktik interaksional
dalam novel LK dan MM karya ARQ. Posisi strategis itu
terletak pada kemampuan aktor kelas menengah bernegosiasi dengan masyarakat
kelas atas, termasuk
pemimpin aparatur sipil negara, dan keleluasaan menegegosiasikan ideologi pada
kelas masyarakat bawah. Kelas menengah dalam teks dan konteks novel rekacipta
ARQ ini menempatkan intelektual tradisional dan intelektual organik kelas
menengah sebagai orang penting dalam penegosiasian ideologi, baik ideologi
pengelolaan negara maupun ideologi pengelolaan bisnis.
Ketiga, hegemoni kelas menengah dalam dinamika perubahan tercitrakan dalam teks dan
konteks novel LK dan MM karya ARQ. Pada level sosial muncul
dampak negosiasi ideologi negara dalam kegiatan Dharma Wanita dan peredaran
produk budaya barat. Hal itu memunculkan sikap pemberontakan dalam diri
perempuan sehingga mengganggu stabilitas politik dan keamanan, terutama yang
diperankan oleh laki-laki. Pada level institusional
terjadi hegemoni aparatur sipil negara yang terintegrasi dalam institusi
negara, seperti bank dan bea cukai pada teks dan konteks LK serta sekolah dan importir film pada teks dan konteks MM yang berlokasi di Medan. Pada level
sosial terjadi hegemoni kelas menengah yang satu terhadap kelas menengah yang
lain. Di satu sisi laki-laki berposisi sebagai intelektual tradisional yang
menjalankan ideologi negara dan di sisi yang lain perempuan berposisi sebagi
intelektual organik yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, bahkan berisiko
melakukan perlawanan terhadap aparatur sipil negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. Ghani. 1984. “Dialog Utara II Memperdalam Persefahaman antara
Rakyat Dua Negara yang Serumpun.” Dewan
Sastera, Kuala Lumpur, Desember 1984, Halaman 62-63.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publications.
Departemen Agama Republik Indonesia.
2005. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.
Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology. Baltimore: John Hopkins
University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Arnold.
Fairclough, Norman.
2003. Language and Power: Relasi Bahasa,
Kekuasaan, dan Ideologi. Gresik: Boyan Publishing.
Gramsci, Antonio.
1992. Selections from the Prison Notebooks.
New York: International Pubslisher.
Guba, Egon G. dan
Yvonna S. Lincoln. 2009. “Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian
Kualitatif.” Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Hanbook of Qualitative Research. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kincheloe, Joe L.
dan Peter L. Mclaren. 2009. “Mengkaji Ulang Teori Kritis dan Penelitian
Kualitatif.” Dalam Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln. Hanbook of Qualitative Research. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Strokes, Jane. 2003. How to do Media and Cultural Studies. London:
SAGE Publications.
Taufik. 2012. Rising Middle Class in
Indonesia: Peluang bagi Marketer dan Implikasi bagi Policy Maker, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Qahhar, A. Rahim. 1987.
Langit Kirmizi. Kuala Lumpur:
Marwilis Publishir Berhad.
Qahhar, A. Rahim. 1988. Melati Merah.
Kuala Lumpur: Marwilis Publishir Berhad.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan
Cultural Studie: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wikipedia. 2015. Breakdance. Dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Break-dance, diakses 22 Februari 2015.
Keterangan: Ringkasan Tesis Program Pascasarjana FIB USU Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar