Senin, 24 April 2017

Sastra Medan: Cover Buku

Karya Sastra Medan dari Masa Kolonialisme sampai Masa Reformasi Kemerdekaan Indonesia.

Antologi Sastra [Puisi, Cerpen, Novel, Drama, Kritik] Sastra Medan

Kumpulan Cerpen Sastrawan Medan

Kajian Sastra Medan

Naskah Drama Sastra Medan

Kumpulan Puisi Sastrawan Medan

Novel Sastrawan Medan

Sastra Terjemahan Medan

Teori, Kritik, Esai Sastra Medan

Senin, 17 April 2017

Buku Sastra: Bibliografi [Rencana]


Syaiful Hidayat
Rosliani








BIBLIOGRAFI
Sastra Sumatera Utara


? , Medan
2017


Makalah: TBSU Medan

Konstelasi Sastra Sumatera Utara di Tengah Tantangan Global
Oleh: Syaiful Hidayat, S.S.


Globalisasi menempatkan budaya massa: konsumerisme dalam peradaban baru negara berkembang lewat kemajuan teknologi komunikasi dan telekomunikasi. Konstelasi sastra Sumatera Utara dalam menghadapi tantangan global bergerak fluktuatif. Sastra modern Sumatera Utara yang menjadi avan garde sastra Indonesia mulai terhenti saat globalisasi makin menembus batas-batas bangsa dan negara: tidak mampu menembus jajaran elite sastra Indonesia. Keadaan semakin tragis ketika Sumatera Utara terjebak pada pelarangan sastra, keterbatasan sastra koran, dan polemik yang merugikan kemajuan sastra Indonesia di tengah tantangan global.


I
Konstelasi Globalisasi

Globalisasi dengan cepat menyergap kehidupan manusia Indonesia dan merambah ke pelosok Sumatera Utara. Globalisasi telah menempatkan selera manusia terhadap perwujudkan keinginan pada tatanan baru menggantikan segala sesuatu yang terlanjur dianggap ketinggalan zaman. Sesuatu yang datang dari luar diri dan kelompok pun menjadi daya tarik tersendiri, terutama sesuatu yang berasal dari Eropa dan Amerika. Kesilauan artistik manusia Indonesia sebagai karakter warisan penjajahan dengan cepat membuka ruang pada budaya konsumen. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pendidikan rata-rata tamat SMA menjadi pasar yang subur untuk konsumsi kekuatan simbolik: menaikkan prestise.
Budaya konsumen yang mengiringi tatanan hidup global telah memasukkan orang-orang Batak dan Melayu di Sumatera Utara pada orbit konsumsi budaya massa. “Budaya konsumen membuka kemungkinan untuk konsumsi produktif, dalam arti menjanjikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan: menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup.” (Featherstone, 1988:53). Oleh karena itu, muncul proteksionitas budaya konsumen dengan memandang budaya konsumen sebagai sebuah paham, seperti terlihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mencatat bahwa konsumerisme merupakan, “gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan; paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kesenangan, kebahagiaan, dsb; gaya hidup yang tak hemat.” (Tim, 2005:589).
Negara-negara berkembang menghadapi kesulitan dalam untuk menciptakan proteksionisme budaya untuk memelihara budaya-budaya asli. Hal ini disebabkan, “budaya massa dipersiapkan untuk menjadi budaya universal yang mendorong ekspansi kekaisaran dan bersamaan dengan itu perbudakan kesadaran nasional tiap-tiap negara.” (Featherstone, 1988:67). Globalisasi budaya massa tersebut menembus batas-batas negara dan bangsa dengan menggunakan kemajuan yang diperoleh bidang komunikasi dan telekomunikasi. Anak-anak bangsa ini dapat dengan segera mengakses laman-laman yang terdapat di internet, bahkan semakin cepat berkat “Goggle” yang membantu menembus situs-situs porno hingga situs manusia beradab. Anak-anak Indonesia dengan cepat antre untuk membeli novel Harry Potter atau makan di Kenntucy Mc Donald dan nonton film Hollywood. Ternyata berdasarkan hasil penelitian yang cermat sejak abad XIX di Inggris menemukan kenyataan bahwa, “Dominasi budaya yang progresif ini, sering diarahkan ke imperialisme budaya atau imperialisme media, telah dianggap sebagai ciri Amerikanisasi.” (Featherstone, 1988:68). Akan tetapi, Alvin Toffler berkeyakinan bahwa, “Ketika komputer bertebaran di Asia...maka kita akan menyaksikan pula suatu arus keuangan, kebudayaan, dan pengaruh lain yang kuat dari Timur ke Barat.” (Toffler, 1987:186).
Konstelasi globalisasi di atas memberi kenyataan bahwa gambaran yang diinginkan dapat saja berubah dengan sertamerta menjadi gambaran yang disangkal. Pada tingkat tertinggi, globalisasi budaya massa akan memunculkan sebuah peradaban baru dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam kehidupan masyarakat negara berkembang yang tidak memiliki local genius dalam menghempang progresivitas globalisasi tersebut. Hal ini disebabkan, “Proses peradaban itu dicetuskan tanpa sengaja dan tanpa rencana dan didorong maju oleh dinamika inheren yang terkandung dalam hubungan kait-mengait antara anggota masyarakat, oleh perubahan khusus dalam bagaimana menata kehidupan sosial manusia.” (Elias, 1988:6).
Progresivitas globalisasi budaya massa yang mengiringi simbolisasi budaya konsumen pada suatu sisi membelenggu kekebasan naluri dan afeksi. Semakin terikat setiap anggota masyarakat secara fungsional pada kegiatan masyarakat lain maka semakin terbatas kesempatan baginya untuk melampiaskan naluri dan afeksinya. “Oleh karena itu apa yang terasa kehilangan dalam kehidupan sehari-hari lalu diganti dengan impian, buku cerita dan gambar: kaum ningrat yang sudah menjadi pejabat istana lalu membaca tentang petualangan ksatria dalam buku novel dan kaum burjois menonton film yang menyajikan adegan kekerasan fisik dan nafsu asmara.” (Elias, 1988:19). Bahkan, “sastra Eropa modern ditulis oleh kelompok kelas menengah karena kelompok bangsawan selalu mencari waktu untuk bersantai, sedangkan kelas bawah hanya mempunyai kesempatan yang sangat terbatas untuk memperoleh pendidikan.” (Wellek dan Warren, 1989:112). Kaum bangsawan tercatat sebagai pelindung sebelum diambil alih oleh para penerbit yang bertindak sebagai agen pembaca.

II
Konstelasi Sastra

Sastra berkorelasi dengan ungkapan perasaan masyarakat. Sastrawan sebagai subjek kolektif memosisikan diri menjadi subjek individual dan subjek transindividual. Oleh karena itu, sastra berpotensi menjadi lambang simbolisasi dalam budaya konsumtif. Tidak mengherankan apabila karya sastra pun mengikuti selera artistik yang cenderung berpihak pada selera massa. Tatanan sastra populer ini harus berhadapan dengan para avan garde susastra yang menjadi titik tolak penulisan sejarah sastra Indonesia. Hal ini terlihat dari penulisan sejarah sastra Indonesia sejak pemunculan Balai Pustaka dan berbagai buku sastra semacam leksikon, eksiklopedia, dan buku pintar yang mendasarkan diri pada keberadaan susastra daripada sastra pop.
Sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia. Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan. Sebaliknya, Sutan Taksir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Konstelasi, keadaan yang dapat dibayangkan tentang sastra Sumatera Utara berada dalam tegangan terus-menerus antara estetika susastra, roman picisan, dan noveau roman. Konstelasi sastra Sumatera Utara dapat dipetakan pada lima periode. Kelima periode ini telah menempatkan sastra Sumatera Utara dalam tatanan globalisasi sehingga menempatkan para sastrawan dari Sumatera Utara sebagai pelopor pembaruan estetika sastra Indonesia. Di sisi lain, para sastrawan Sumatera Utara yang melihat kecenderungan bangsa Indonesia yang konsumtif membidik sastra populer sebagai media ekspresi dalam menghadapi tatanan global.
Periode pertama, sastra Sumatera Utara yang terkenal dengan nama “Sastra Medan” menorehkan kisah keberhasilan para imigran. Karya sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara memperoleh kejayaan di Jakarta. Bahkan, para sastrawan yang berhasil di perantauan tidak kembali lagi ke kampung halaman. Hal ini mengisyaratkan kekuatan kultur Batak dalam keseluruhan hidup masyarakat Sumatera Utara. Bagi orang Batak,
Bulu siambuluan,
manang langge dihalanggean,
huta ni damang hatubuan,
ndang marimbar tano hamatean.
Ungkapan tradisional sedemikian ini menunjukkan bahwa bagaimanapun juga tanah kelahiran di kampung halaman, tetapi tanah kematian tidaklah harus di kampung halaman. (Harahap dan Siahaan, 1987:90)

Pada periode pertama ini penerbitan karya sastra masih dikuasai oleh Balai Pustaka sebagai agen pembaca sekaligus agen pemerintah. Di sinilah muncul “Anak Medan” seperti Merari Siregar yang mengenalkan novel Azab dan Sengsara dan M. Kasim yang mengenalkan cerpen-cerpen Teman Duduk. Pemunculan mereka diikuti oleh migrasi sastrawan ke Pulau Jawa dengan berbagai kepentingan, seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Chairil Anwar. Para imigran sastra Medan ini tidak sekedar hadir dan ada tetapi hadir dan memberi corak baru estetika sastra Indonesia dalam novel, cerpen, puisi, dan drama/film.
Periode kedua, industri roman picisan Medan memasuki estetika susastra Indonesia yang justru dipelopori oleh “Anak Medan”. Istilah “roman picisan’ merupakan penamaan yang diberikan Parada Harahap terhadap novel/roman yang bermutu rendah (sepicis = 10 sen) dalam polemiknya dengan Matu Mona pada tahun 1939. Pada waktu itu muncul Abas Hasan dengan novel Kasih Tak Putus (Penerbit Sagara Medan, 1929), Matu Mona antara lain menulis Pacar Merah Indonesia (1938) dan Zaman Gemilang (1939) terbitan Centrale-Courant en Boekhandel Medan, A. Hasjmy dengan novel Suara Azan dan Lonceng Gereja (NV Sjarikat Tapanoeli, Medan, 1939), dan Hamka dengan novel Merantau ke Deli (Badan Penerbitan Tjerdas, Medan, 1941).
Di antara deretan roman picisan terdapat karya Joesoef Sou’yb yang terkenal dengan serial novel Elang Laut dan novel-novelnya yang lain seperti Leburnya Kota Warsawa terbitan Tjerdas Medan (1939) dan Paderi terbitan Tjerdas Tebingtinggi (1949). Tahun 1950-an hingga 1960-an merupakan kelanjutan industri roman picisan yang dipelopori para penerbit, seperti pemuatan novel hiburan pada majalah roman “Rindu” pimpinan Doremi, “Ultra” pimpinan A.K. Rangkuti. Demikian juga roman populer atau roman detektif yang diterbitkan Pustaka Andalas pimpinan A. Karim, Pustaka Kesatuan pimpinan S.M. Taufik, Menara pimpinan Saiful UA, dan Seminar pimpinan Joesoef Sou’yb. Pada waktu itu, 1955, muncul Amras dengan novel Rangkaian Nafsu (U.P. Puspa Sari Medan), Don Jon dengan novel Gejolak Nafsu (Pustaka-Penerbit Ros Medan), serta Das dan Djal’s dengan novel Kebaya Nylon (Penerbit-Pustaka Ros). Hebatnya, industri roman picisan Medan didukung para penerbit dan pembaca sehingga diiklankan seperti iklan novel susastra masa kini.
Periode ketiga, sastra Sumatera Utara terjebak konflik politik sebagai panglima yang dijalankan oleh pemerintah Orde Lama. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didukung oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) berhadapan dengan sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan. Bokor Hutasuhut sebagai sastrawan imigran dari Tapanuli memegang peranan penting dalam penandatangan Manifes Kebudayaan. Pada masa itu muncul estetika sastra: seni untuk seni yang dipelopori oleh Iwan Simatupang dengan nouveau roman Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969), Kering (1969), da Koong (1975). Novel estetika baru berhadapan dengan susastra Penakluk Ujung Dunia karya Bokor Hutasuhut (Manifes Kebudayaan) atau Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Lekra). Kemudian di Medan, muncul kumpulan puisi Ribeli 1966 karya Aldian Aripin, Djohan A. Nasution, dan Z. Pangaduan Lubis dalam format perlawanan terhadap gerakan politik sebagai panglima dan sastra yang mengabaikan estetika sastra itu sendiri.
Periode keempat,  poros sastra Medan-Penang sebagai perwujudan sastra Sumatera Utara dan kawasan utara Malaysia.  Periode ini merupakan peningkatan jaringan sastra dari poros sastra Medan-Jakarta yang dibangun oleh sastrawan kelahiran Sumatera Utara sejak zaman Hindia Belanda. Sastrawan Medan seperti A. Rahim Qahhar dan Lazuardi Anwar membuka jaringan baru sastrawan dalam Dialog Utara sebagai sarana bertemu dan menerbitkan karya sastra dari Sumatera Utara dan kawasan utara Malaysia. Dialog Utara yang terus berlangsung hingga kini terus membuka diri dan meninggalkan para sastrawan yang tidak ingin mengglobalkan pertemuan tersebut.
Poros sastra Medan-Pedang membawa keuntungan bagi sastrawan Medan dan sekitarnya. Karya-karya sastra mereka diterbitkan dan dibacakan di berbagai kota di Malaysia sehingga sastrawannya diberi penghasilan yang layak. Novel-novel yang sempat diterbitkan oleh Penerbit Marwilis adalah Langit Kirmizi (1987) dan Melati Merah (1988) karya A. Rahim Qahhar, Dendam Pemburu (1987), Berdirinya Suatu Kebenaran (1991), Si Mardan (1991), dan Orang-orang Hukuman (1993) karya R. Effendi Ks., Mutiara Berserakan (1988), Derai-derai Tangis (1988), Mereka yang Menebus Dosa (1988), dan Sepanjang Kaki Langit (1989) karya Maulana Syamsuri. Di samping itu, Marwilis Publisher & Distributors Sdh. Bhd. Malaysia menerbitkan novel Teka-Teki karya Damiri Mahmud (1988) dan novel Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut (1989).
Periode kelima, sastra Sumatera Utara angkatan 2000 sebagai sebuah angkatan yang tidak didasarkan oleh pencapaian estetika sastra yang baru. Angkatan ini mengikut pada angkatan sastra yang muncul secara nasional setelah peristiwa reformasi 1998. Pada saat ini para sastrawan yang berlatar belakang pendidikan tinggi bergabung dengan sastrawan otodidak untuk kembali menembus dominasi Jakarta. Harta Pinem, YS Rat, Thompson Hs., Afrion, S. Ratman Suras, Teja Purnama, Suyadi San, Idris Siregar, dan para pemuda yang berprofesi sebagai sastrawan yang memajukan sastra Medan/Sumatera Utara. Pada masa ini, sastrawan Sumatera Utara banyak mengelompokkan diri pada forum-forum sastrawan seperti FKS (Forum Kreasi Sastra), Arsas (Arisan Sastra), dan FSSU (Forum Sastrawan Sumatera Utara) atau Omong-omong Sastra yang sudah berdiri sejak 20 Juli 1976. Akan tetapi, konstelasi sastra itu tetap menjadikan Medan/Sumatera Utara tidak mempunyai karya monumental yang dapat mewakili pencapaian estetika sastrawan dari Sumatera Utara.
III
Pelarangan Sastra


Konstelasi sastra Sumatera Utara ditandai oleh pelarangan sastra sebagai sesuatu yang bertentangan dengan tatanan global. Globalisasi yang menyebarluaskan prinsip-prinsip kebebasan kreatif dan demokratisasi menolak setiap pelarangan terhadap penerbitan karya sastra. Oleh karena itu, prinsip-prinsip poetika sastra yang dikembangkan oleh Aristoteles lebih disenangi daripada poetika sastra Plato. Aristoteles menyatakan bahwa karya seni/sastra merupakan peniruan yang mampu memberikan proses katarsis, penyucian jiwa manusia. Sebaliknya, poetika sastra Plato membenarkan pelarangan sastra karena menganggap karya seni dapat merusakkan jiwa manusia dan negara hanya memerlukan karya yang berisi kepahlawanan, bertindak sebagai panglima perang.
Pelarangan sastra di Sumatera Utara ternyata memiliki sejarah yang panjang. Pada bulan September 1919, harian Benih Merdeka yang terbit di Medan menerbitkan sebuah pantun berjudul “Nasibnya Hindia” karya penulis yang menggunakan nama samaran Van Aarde, sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda merasa sangat terpukul. Pantun itu antara lain tertulis, “Hindia bukan tanah wakaf/Hindia bukan nasi bungkus/Hindia bukan rumah komedi/”. Muhammad Yunus sebagai pemimpin redaksi terpaksa ditangkap karena dianggap melanggar kode etik pers Hindia Belanda. “Tetapi delik tersebut kandas di tengah jalan, karena kalimat-kalimat tersebut itu tidak melanggar hukum, tegasnya tidak dapat dihukum (net vervolgbaar).” (Muhammad, 2001:12)
Tragedi Hindia Belanda ternyata tidak membuat pejabat pemerintahan mengkaji diri terhadap simbolisasi sastra sebagai bagian tidak terpisahkan dari budaya massa di era globalisasi. Pada tanggal 12 Oktober 1968, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan menyita Majalah Sastra yang memuat cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin yang dianggap menghina agama Islam. Kantor majalah Sastra di Jakarta pun didemonstrasi sekelompok orang. Sastrawan Medan menolak tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dari sudut hukum dan sastra dalam penerbitan stensilan berjudul “Responsi”. Sastrawan Medan seperti Sori Siregar, Z. Pangaduan Lubis, Rusli A. Malem, Zakaria M. Passe, dan Djohan A. Nasution bersama sastrawan lain seperti Trisno Sumardjo (Ketua DKJ), Djajakusuma (Ketua BPTNI), Umar Kayam (Dirjen Film, Radio, dan TV), dan Slamet Sukirnanto (Anggota DPR/MPRS) menolak penyitaan majalah itu sebagai sikap tidak berbudaya dan menghambat kebebasan kreatif. Mereka harus berhadapan dengan Departemen Agama, didukung Hamka yang merasa tersinggung dengan cerpen tersebut dan menganggap pengarangnya pantas dibunuh. Akhirnya, tanggal 28 Oktober 1970, hakim menjatuhkan vonis terhadap H.B. Yasin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun untuk mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” tersebut.
Pelarangan sastra kembali terjadi di Medan. Pada 31 Agustus 1975, puisi A. Rahim Qahhar berjudul “Pastur Jongkok di Betis Perawan” bersama puisi Bambang Eka Wijaya berjudul “Bulan Anggur”, dan puisi Gunawan Tampubolon berjudul “Tuhan di Balik BH Pelacur” dimuat dalam rubrik Wahana pada harian Sinar Indonesia Baru (SIB). Ketiga puisi itu dianggap menghina agama Islam di saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa ramadhan sehingga SIB dibredel oleh ABRI. Bambang Eka Wijaya sebagai pemimpin redaksi sempat dipenjara -karena puisinya “Bulan Anggur” menceritakan kehidupan sastrawan yang gemar minum-minuman keras dan hal ini disimbolikkan dengan nama-nama malaikat-, sedangkan A. Rahim Qahhar -yang menulis puisi “Pastur Jongkok di Betis Perawan” menceritakan saat seorang pastur sedang jongkok memilih durian, datanglah seorang perempuan Cina yang memakai rok mini tepat di samping sang pastur untuk membeli durian- hanya dipanggil sebagai saksi. Dia bisa membuktikan bahwa puisi yang diterbitkan oleh SIB bukan dia yang mengirimkan namum diminta oleh A.A. Bungga sebagai redaktur SIB waktu itu, untuk diterbitkan. Padahal, menurut penyairnya, puisi ini sebenarnya adalah puisi pertamanya yang dimuat di surat kabar.
Pejabat Kota Medan ternyata tidak kenal menyerah untuk mencampuri urusan proses kreatif sastrawannya. Ketika globalisasi semakin menemukan bentuk dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara, pejabat swasta Kota Medan pun turun tangan “menukangi” novel yang muncul pada penerbitan media massanya. Media massa sebagai alat mengglobalkan gaya hidup modern bagi pengusaha Medan harus dijaga stabilitasnya sehingga terpaksa “mengobok-obok” kehidupan yang digambarkan oleh sastrawan dalam karyanya. Novel Api dan Pintu-Pintu Keampunan (Maghfirah) karya Maulana Syamsuri terjebak dalam pelarangan sastra dengan alasan mengandung unsur SARA. Novel Api: Novel Prahara Perkosaan Massal Mei 1998 harus mengalami revisi hingga bisa tamat penerbitannya di SKH Analog Medan (Februari 2003 diterbitkan dalam bentuk buku oleh Sastra Novela Medan). Novel Pintu-Pintu Keampunan (Maghfirah) terhenti penerbitannya pada edisi ke-45 sebagai cerita bersambung SKH Analisa Medan (Tahun 2006 diterbitkan secara lengkap dalam bentuk buku oleh Sastra Novela Medan).


IV
Sastra Sumatera Utara

Konstelasi sastra Sumatera Utara pada hakikatnya berkembang sejalan dengan perkembangan globalisasi budaya massa. Penduduk Provinsi Sumatera Utara yang multietnik merupakan modal penting dalam kelangsungan tatanan global. Kedatangan imigran Jawa, Cina, dan Tamil ke Sumatera Utara merupakan konsekuensi logis dari tantangan global yang harus dihadapi oleh masyarakat Batak dan Melayu yang justru bermigrasi ke Pulau Jawa dan Semenanjung Malaya. Bahkan, komposisi penduduk yang didominasi para imigran –Jawa (33,40%), Batak Toba (25,62%), Angkola-Mandailing (11,27%), Nias (6,36%), Melayu (5,86%), Karo (5,09%), Cina (2,71%), Minangkabau (2,04%), Aceh (0,97%), dan Pakpak (0,73%)- menjadikan Sumatera Utara sebagai “Indonesia Mini” dalam menghadapi tantangan global.
Globalisasi budaya massa telah menempatkan kemajuan teknologi komunikasi dan telekomunikasi sebagai media berekspresi para sastrawan Sumatera Utara. Oleh karena itu, surat kabar menjadi media penerbitan yang mendominasi konstelasi sastra Sumatera Utara dalam menghadapi tantangan budaya global. Tantangan global yang cenderung mengedepankan kebebasan berkreasi ternyata tidak berlaku mutlak karena masih terdapat pelarangan dari pejabat publik dan “campur tangan” agen pembaca di Sumatera Utara. Akhirnya, sastrawan Sumatera Utara berada dalam posisi dilematis, sebagian memilih bermigrasi mengikuti jejak para leluhurnya ke berbagai kota Indonesia dan Malaysia atau tetap bertahan di tanah kelahiran yang juga menjadi tanah perantau bagi yang bermigrasi seperti perantau dari Sumatera Barat.
Estetika sastra yang berkembang dalam karya sastra Sumatera Utara bermula dari estetika sastra konvensional yang berkekuatan pada budaya, agama, dan tantangan global. Estetika itu mendapat tantangan dari generasi roman picisan yang melanda Kota Medan. Akan tetapi, roman picisan seharga 2 picis yang berkisah cinta, detektif, dan petualangan ternyata menjadi penanda estetika sastra Indonesia. Armijn Pane meluncurkan novel Belenggu sebagai novel yang berani menampilkan adegan cinta yang terlarang dalam adat istiadat Indonesia. Bahkan, Armijn Pane mengeksploitasi seks pada film Antara Bumi dan Langit (H/P, 70 menit) produksi Stichting Hiburan Mataram dan FPN, dengan sutradara Dr. Huyung [Hinatsu Eitaro] prajurit Jepang keturunan Korea yang masa pendudukan Jepang ditugaskan untuk menguasai dunia sandiwara Indonesia tetapi setelah kemerdekaan menyebarkan pengetahuan teater dan film antara lain pada Usmar Ismail. Film yang skenario dan cerita aslinya ditulis oleh Armijn Pane ini menjadi film pertama Indonesia yang menampilkan adegan ciuman. Setelah mendapat protes diadakan revisi, film ini diedarkan dengan judul Frieda.
Konstelasi sastra yang akhir-akhir ini dihebohkan oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan dengan polemik Gerakan Syahwat Merdeka merupakan konflik yang bersinggungan dengan isi sastra yang pernah dikembangkan oleh sastrawan Sumatera Utara. Gerakan melawan eksploitasi seks itu merupakan local genius budaya Indonesia terhadap tatanan hidup global. Oleh karena itu, sastra Sumatera Utara perlu menggalang kekuatan dengan sastra kawasan Sumatera yang memiliki karakter kemelayuan yang relatif sama. Bahkan, sastra dan sastrawan kawasan ini menjadi pelopor kebaruan estetika sastra Indonesia yang perlu “pulang kampung” memajukan dan mengglobalkan sastra dari kekuatan local genius hasil kreasi sastrawan Sumatera yang menumental.

V
Daftar Pustaka


Ahmad, Awaluddin (ed.). 2002. 25 Tahun Omong-omong Sastra: Makalah yang Dibentang, Bandingan, serta Publikasinya. Medan: Sastera Leo.
Aiyub, Z. Pangaduan Lubis, dan D. Syahrial Isa. 2000. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatera Utara. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Dahlan, Muhidin M. Dan Mujib Hermani (ed.). 2004. Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipanjikusmin. Jakarta: Melibas.
Elias, Noerbert. 1988. “Kerangka untuk Sebuah Teori Peradaban” dalam Hans-Dieter Evers(ed.). Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Featherstone, Mike. 1988. “Budaya Konsumen, Kekuatan Simbolik dan Universalieme” dalam Hans-Dieter Evers (ed.). Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harahap, Basyral Hamidy dan Horman M. Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskander.
Kristanto, J.B. 1995. Katalog Film Indonesia 1926-1995. Jakarta: Grafiasri Mukti.
Muhammad TWH. 2001. Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara. Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Sugono, Dendy (ed.). 2003. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.
Toffler, Alvin. 1988. Kejutan dan Gelombang (Alihbahasa oleh Dra. Koesdiyantinah SB.). Jakarta: Pantja Simpati.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

___________________________
Syaiful Hidayat, S.S. lahir 22 Februari 1965 di PTP III Aeknabara, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Menamatkan sekolah di kampung halaman dan memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia dari Fakultas Sastra USU Medan. Bersama teman-temannya mendirikan Teater “O” Senat Mahasiswa FS USU (1991) dan Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan (1994). Dia menjadi Sekretaris Majalah Dinding FS USU (1986-1988), Sekretaris Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa (IPEPMA) Labuhan Batu Perwakilan USU (1987-1988), Kepala Bidang Pengkaderan KBSI FS USU (1990-1993), Redaksi/Pelaksana Pimpinan Umum Majalah Mahasiswa Wacana FS USU Medan (1991), Kelompok Mahasiswa Pendiri Teater “O” Senat Mahasiswa FS USU (1991), Kelompok Pendiri Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan (1994), wartawan (tiga bulan) SKH Mimbar Umum Medan (1994), Koordinator FKS (1995-1996), Humas FKS (1997-1999), Wakil Sekretaris Pemuda Muslimin Indonesia Wilayah Sumatera Utara (1997-2000), Sekretaris I Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) periode 1999-2004, Ketua Ikatan Sosial Kekeluargaan Budi Utomo (ISKBU) Medan (2000-2003). Tahun 1998-1999, bersama warga Pemuda Muslimin mendukung pemunculan kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan terpilih menjadi salah seorang Wakil Ketua PSII Kota Medan.
Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi “Asa” (1984), “Katarsis” (1987), dan “Kumpulan Puisi Wacana” yang diterbitkan Senat Mahasiswa FS USU Medan (1991). Esai dan kritik sastranya terhimpun dalam Lantun: Kumpulan Tulisan Alumni terbitan USU Press (1995), 25 Tahun Omong-Omong Sastra: Makalah yang dibentang, bandingan, serta publikasinya terbitan Sastera Leo Medan (2002). Di samping itu, ulasan puisinya menjadi pengantar buku Bumi: Antologi Puisi 18 Penyair Sumatera Utara terbitan Studio Seni Indonesia, Medan (1996) dan menjadi ulasan penutup buku Dalam Kecamuk Hujan: Kumpulan Puisi Sembilan Penyair Sumatera Utara terbitan Kedai Sastra Kecil (KSK) Deliserdang (1997). Kemudian, menjadi kontributor ulasan puisi dalam buku Aldian Aripin: Penyair, Karya, Rentang Waktu, dan Lingkup Jelajahnya yang diterbitkan Sastera Leo Medan (2001). Bersama Damiri Mahmud dan Sahril, menjadi anggota tim seleksi cerpen koran Medan hingga menerbitkan Denting: Kumpulan Cerpen Koran Medan (DKM, 2007).
Syaiful Hidayat selalu menjadi pemakalah/pembicara, seperti pemakalah “Kepedulian Tokoh Terhadap Lingkungan Hidup dan Keluarga Berencana dalam Novel Indonesia Mutakhir” pada Seminar Nasional Mahasiswa Indonesia di FS USU (1990) dan pemakalah “Orientasi kebudayaan Nasional Indonesia” pada acara yang sama di Universitas Bung Hatta Padang (1991). Dia juga diundang sebagai pemakalah “Kecenderungan Baru Perpuisian Medan” pada Diskusi dan Baca Puisi di FBS IKIP Negeri Medan (1994), “Sastra Medan: Nasib dan Masa Depannya” pada Diskusi Sastra Renungan Seni di TBSU (1995), “Visi Novel Indonesia Masa Orde Baru” pada Diskusi Sastra dan Baca Puisi Lingkungan Hidup yang diselenggarakan Bina Sastra di TBSU (1998), pembicara “Cerpen-cerpen Maroeli Simbolon” di TBSU (2002), “Peta Sastra Modern Medan” pada Dialog Utara X di Yala, Thailand Selatan (2003), “Sastra Jawa Perantauan di Sumatera Utara” pada Seminar Multikultur Sastra Indonesia di Unimed (2004), dan pembicara “Kontroversi RUU Pornografi dan Pornoaksi” di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USU Medan (2006).
Berbagai kegiatan sastra dan budaya telah diikutinya, seperti Sarasehan Teater Medan di FS USU (1987), Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayutanam, Sumatera Barat (1997), Temu Sastrawan Se-Sumatera di Banda Aceh (1999), Temu Penyair Nasional di Tasikmalaya (1999), Dialog Utara IX di Medan dan Sipirok (2001), Festival Kebudayaan Pattani di Thailand Selatan (2003), Festival Teater Alternatif di Gedung Kesenian Jakarta (2003), dan Kongres Bahasa Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta (2003).

Hasil pengamatannya terhadap kesusastraan Indonesia dengan judul “Salah Kaprah dalam Memandang Sastra” memperoleh Juara 2 Lomba Penulisan Esai pada Bulan Bahasa KBSI FS USU Medan (1989). Kemudian, esai sastranya berjudul “Perjalanan Nasib Seniman Indonesia (Lewat Keajaiban di Pasar Senen Karya Misbach Jusa Biran)” menjadi salah satu dari 20 Pemenang Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Program Reguler untuk Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI (2006). Selain menjadi pengamat dan peneliti sastra Medan/Sumatera Utara, Syaiful Hidayat berprofesi sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dan SMP Swasta Budi Utomo, Jalan Jurung No. 33, Medan Area. Untuk memperkuat metode pengajarannya, dia mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Guru Swasta Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di BPG Sumatera Utara, 9-24 April 2001. Sekarang bertempat tinggal di Jalan Sumber Bangun, Gang Langgar No. 92, Harjosari 2, Medan Amplas.

Penelitian Sastra

HEGEMONI KELAS MENENGAH DALAM NOVEL LANGIT KIRMIZI DAN MELATI MERAH KARYA A. RAHIM QAHHAR: PERSPEKTIF CULTURAL STUDIES

Oleh: Saiful
Dosen STBA ITMI Medan

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan membongkar dan merekonstruksi relasi dan tindakan aktor rekacipta pengarang dalam proses perubahan sosial budaya yang dijadikan penguatan struktur naratif teks novel, pemosisian yang strategis bagi kelas menengah dalam memproduksi dan mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya dalam konteks novel, dan hegemoni kelas menengah dalam perubahan sosial budaya yang direpresentasikan pengarang dalam teks dan konteks novel Langit Kirmizi (LK) dan Melati Merah (MM) karya A. Rahim Qahhar. Analisis dilakukan dengan triangulasi teori hegemoni, dekonstruksi, dan analisis wacana kritis. Pendekonstruksian didasarkan pada teori dekonstruksi Jacques Derrida, sedangkan penghegemonian didasarkan pada teori hegemoni Antonio Gramsci. Ketiga teori dalam penelitian ini ditriangulasikan dalam paradigma kritis yang diaplikasikan secara deskripsi kualitatif dalam format Analisis Wacana Kritis. Sesuai dengan data teks dan konteks, kelas menengah dalam novel ini berperan  sebagai aktor penting dalam hegemoni, baik sebagai penguatan koersif maupun kultural. Perang posisi kelas menengah dalam penguatan ideologi, politik, dan kekuasaan terindentifikasi berjejak signifikan atas relasi aktor rekacipta sastrawan Indonesia dari Kota Medan dalam novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar yang diproduksi Malaysia pada periode 1987-1993.
            Kata Kunci: hegemoni, kelas menengah, dekonstruksi, wacana


1. PENDAHULUAN
Sejarah manusia adalah sejarah perubahan sosial budaya. Perubahan tersebut teridentifikasi dari temuan yang berorientasi pada pemertahanan dan perluasan budaya, baik dengan cara perpindahan budaya, pengaruh budaya, maupun pemaksaan budaya. Perpindahan budaya terjadi akibat migrasi dari satu tempat ke tempat lain, seperti tradisi nomaden, transmigrasi, dan urbasisasi. Sebaliknya, pengaruh budaya terjadi secara sistemik melalui proses pembelajaran dan pertunjukan budaya lewat institusi pendidikan dan media massa, sedangkan pemaksaan budaya terjadi melalui proses penguasaan yang terjadi secara politis, bahkan tanpa persetujuan masyarakat yang terhegemoni dan menghegemoni.
Perubahan sosial budaya dapat dilakukan oleh setiap manusia, baik berasal dari kelas bawah, kelas menengah, maupun kelas atas. Posisi kelas bawah yang berada di bawah garis kemiskinan dan kelas atas sebagai pemegang kekayaan dan kekuasaan memiliki posisi jelas dan terukur dalam status sosial. Hal ini berbeda dengan kelas menengah berpotensi menghilang dari status sosialnya. Kelas menengah bawah berpotensi menjadi kelas bawah dan kelas menengah atas berpotensi menjadi kelas atas. Sebaliknya, kelas menengah tengah berposisi sebagai pusat kelas menengah yang jelas dan terukur status sosialnya sebagai kelas menengah karena hanya dapat berubah status sebagai kelas menengah atas atau kelas menengah bawah.
Kelas menengah yang terkonsentrasi di perkotaan tidak hanya terjadi dalam realitas faktual, melainkan juga dalam realitas rekacipta sastrawan dalam novel ciptaannya. Bahkan, kelas menengah perkotaan dan pedesaan dihadirkan oleh sastrawan dalam novelnya sehingga muncul benturan peradaban, perang posisi, yang berisiko terjadi perubahan sosial budaya, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Fenomena ini terindikasi terjadi dalam novel LK (Langit Kirmizi) dan MM (Melati Merah) karya A. Rahim Qahhar yang diterbitkan oleh Marwilis di Malaysia pada periode 1987–1993. Sastrawan tersebut merekacipta tokoh cerita dalam novelnya sebagai representasi masyarakat kelas menengah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahkan, realitas rekacipta tersebut berhadap-hadapan untuk mempertaruhkan prestise aktor, baik secara gender maupun latar belakang kultur perkotaan dan pedesaan.
Penelitian ini dipusatkan pada teks dan konteks novel dengan tiga rumusan masalah: (1) Bagaimanakah proses perubahan sosial budaya yang direpresentasikan dalam novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar? (2) Bagaimanakah posisi strategis kelas menengah memproduksi dan mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya dalam novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar? (3) Bagaimanakah hegemoni masyarakat kelas menengah dalam dinamika perubahan sosial budaya yang direpresentasikan sastrawan dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya A. Rahim Qahhar?
Di dalam teks dan konteks novel, perubahan sosial budaya berpotensi terjadi setiap saat sehingga sastrawan berpeluang besar merepresentasikan realitas faktual dalam realitas rekaciptanya pada teks novel. Realitas rekacipta ini dirangkai oleh bahasa sehingga analisis hegemonik kelas menengah dalam penelitian ini pun didasarkan pada potensi bahasa. Faktor penguasaan bahasa yang terepresentasi dalam tindakan tokoh cerita dalam teks novel menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian linguistik yang terfokus pada kelisanan.. Dengan demikian, penelitian berpola cultural studies dengan pentriangulasian teori hegemoni, dekonstruksi, dan analisis wacana kritis ini dapat mengungkap hegemoni kelas menengah dalam proses perubahan sosial budaya berdasarkan teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ yang diproduksi di Malaysia periode 1987–1993.

2. KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini diintegrasikan dalam kaidah yang berlaku pada teori hegemoni, teori dekonstruksi, serta teori dan metode analisis wacana kritis. Ketiga teori ini berorientasi pada perubahan sosial dan budaya. Teori hegemoni berkedudukan sebagai grand theory, teori dekonstruksi sebagai middle theory, dan analisis wacana kritis sebagai application theory.
Secara teoretik, terdapat tiga konsep dalam teori hegemoni yang digagas oleh Gramsci, yakni intelektual, perang posisi, dan negara hegemonik. Ketiga konsep tersebut dihubungkan oleh negosiasi terus-menerus, bukan kekuatan koersif yang dicirikan oleh pemaksaan dan tindakan kekerasan. Konsep pertama, Gramsci (1992) memosisikan intelektual tradisional sebagai pelegalitas kekuasaan negara dan pengabdi kelompok penguasa. Intelektual ini terdiri atas filosof, sastrawan, ilmuwan, dokter, guru, agamawan, dan pemimpin militer. Sebaliknya, intelektual organik sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas terhegemoni. Konsep kedua adalah perang posisi. Perang posisi memunculkan blok solidaritas dan negosiator. Konsep ketiga adalah negara hegemonik. Secara hegemonik, negara dalam terminologi Gramscian terdiri atas masyarakat sipil dan masyarakat politis.
Teori Dekonstruksi digagas oleh Derrida (1997) dengan mengembangkan kritik terhadap filsafat Barat yang logosentris dan beroposisi biner. Kritik Derrida terhadap logosentris diikuti pendekonstruksian terhadap oposisi biner, sehingga tidak ada satu pusat dan tidak ada yang lebih penting daripada memberi kontribusi terhadap posisi terkini. Derrida pun mendekonstruksi teks dengan konsep “jejak” dan “penundaan” yang memunculkan instabilitas makna, ketertundaannya lewat ketersalingkaitan teks sebagai sesuatu yang penting dalam rekonstruksi teks dan konteks keberaksaraan.
Teks dan konteks berkaitan erat dengan wacana dalam teori dan metode analisis wacana kritis. Fairclough menganalisis wacana dengan pola tiga dimensi: teks, discourse, dan sociocultural practice. Di dalam praktik CDA, Fairclough (2003) mendeskripsikan aspek-aspek linguistik yang membangun teks. Pertama, deskripsi yang merupakan tingkatan yang berhubungan dengan sifat formal teks. Kedua, interpretasi berkaitan dengan hubungan antara teks dan interaksi –yang melihat teks sebagai suatu produk proses produksi, dan sebagai sumber dalam proses interpretasi. Ketiga, eksplanasi berkaitan dengan hubungan antara konteks interaksi dan sosial.   

3. METODE PENELITIAN 
Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis. Menurut Guba dan Lincoln (2009), secara metodologis, paradigma kritis bersifat dialogis dan dialektis agar dapat mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman dengan, “Tujuan penelitian adalah kritik dan transformasi struktur sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui keterlibatan dalam upaya perlawanan, bahkan konflik.” Kincheloe dan McLaren (2009) menegaskan bahwa penelitian kritis harus dikaitkan dengan usaha penentangan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.
Keterkaitan paradigma kritis dengan kekuasaan relevan untuk mendekonstruksi novel LK dan MM karya ARQ terbitan Marwilis (Malaysia) sebagai bahan penelitian ini. Oleh karena itu, analisis data penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis naratif dan dekonstruktif dalam kerangka analisis wacana kritis. Menurut Strokes (2003), “Analisis naratif adalah nama yang diberikan bagi induk beragam metode yang meneliti struktur naratif dari teks apa pun. Analisis naratif merupakan bagian integral dalam penganalisisan karya sastra sebagai teks. Sebaliknya, analisis dekonstruktif merupakan teknik penganalisisan dengan pembongkaran data-data yang bersifat oposisi biner dalam teks dan konteks. Berdasarkan kedua model analisis dilakukan analisis wacana kritis yang dikembangkan Fairclough (1995) dengan menempatkan tiga strata analisis: teks, konteks, dan sosiokultural.

4. HASIL PENELITIAN 
Novel rekacipta ARQ yang dijadikan sumber data penelitian ini diberi judul LK dan MM. Kedua novel diberi judul dengan penjelasan yang tidak setara dalam deskripsi cerita. Judul novel LK diberi deskripsi sedangkan judul novel MM tidak diberi deskripsi secara eksplisit dalam penceritaan. Frasa langit kirmizi merupakan penanda yang biasa muncul waktu senja pada tahap plot mencapai denoument penceritaan novel LK.
Secara semiotik, frasa langit kirmizi memberi pertanda bahwa waktu istirahat telah tiba sehingga secara konteks terjadi masa istirahat untuk pulang ke rumah bagi pekerja. Akan tetapi, tokoh cerita dalam novel LK masih terpaksa bekerja -menunggu kelahiran anak dari istri kedua dan cucu dari putri tanpa suami yang sah- sehingga tidak dapat menikmati waktu istirahat. Sementara itu, perekacipta memberi judul novelnya yang lain dengan nama bunga yang tidak biasa, melati merah. Konteks bunga melati yang berwarna putih diubah berwarna merah oleh perekacipta. Di dalam novel MM, memang tidak terdapat frasa melati merah sebagaimana frasa langit kirmizi dalam novel LK.
Pemaknaan semiosis judul dua novel rekacipta ARQ mempertegas ada perang posisi protagonis dengan antagonis. Hegemoni tersebut dapat diungkap secara verifikatif dalam tiga tahap. Pertama, proses perubahan sosial budaya teridentifikasi melalui representasi kosakata, relasi partisipan, dan identitas aktor. Kedua, posisi strategis kelas menengah teridentifikasi dalam konteks situasional dan tipe diskursus, konteks interaksional, serta struktur skematika novel. Ketiga, hegemoni kelas menengah dalam level sosio budaya, institusional, dan sosial.
4.1 Proses Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosio budaya menjadi tema sentral novel LK dan MM karya ARQ. Sebaliknya, terdapat tiga tema pendukung sentral representatif, yakni kepemimpinan hegemonik, kenakalan remaja, dan stabilitas politik. Proses perubahan yang terjadi adalah perubahan sosial budaya masyarakat kelas menengah yang berlatar belakang budaya agraris menuju budaya industri. Di dalam teks, gaya hidup modern masyarakat industri berlangsung pada latar kekinian, sedangkan gaya hidup tradisional masyarakat agraris terjadi dalam latar flashback, masa lalu. Dengan demikian, masa lalu aktor perubahan sosial budaya dijadikan landas tumpu dalam pembentukan pola hidup yang dibentuk dalam proses perubahan sosial budaya, sehingga dengan pengpenelitian masa lalu terhadap kondisi terkini diharapkan terjadi keberlangsungan yang ideal terhadap pembentukan format sosial budaya modern.
Proses perubahan sosio budaya dalam teks LK terkendala oleh kekuatan hegemonik protagonis dan antagonis. Kekuatan hegemonik itu terpresentasi oleh keinginan untuk bergaya hidup modern. Akibat tidak terjadi negosiasi yang saling menguntungkan, maka perebutan pengaruh untuk menghegemonikan kekuasaan tersebut berlangsung terus-menerus. Secara tekstual, dalam novel LK dapat diidentifikasi dari tindakan protagonis Rahmadi mengajak, membujuk, dan memaksa antagonis Sinah untuk mengubah gaya hidup kelas menengah pedesaan yang tradisionalistik menuju gaya hidup perkotaan yang modernistik. Sebaliknya, Sinah sebagai antagonis LK merepresentasikan intelektual pedesaan yang bersahaja, tetapi bertanggung jawab terhadap kebutuhan sandang dan papan bagi anak-anaknya. Jadilah, Rahmadi sebagai representasi intelektual perkotaan yang konsumtif, seperti membeli penganan dan berwisata, berseberangan dengan istrinya, yang menginginkan pengonsumsian makanan dimasak sendiri dan biaya wisata keluarga dialihkan untuk kebutuhan primer keluarga.
Tegangan hegemonik LK semakin memuncak oleh penolakan Sinah mengikuti kegiatan istri pegawai negara di kantor suaminya. Sinah yang merepresentasikan rakyat yang tertindas menjadi pengganggu hegemoni Rahmadi dalam kapasitas sebagai pejabat perbankan yang wajib menyertakan istri dalam perkumpulan istri pegawai negara di kantornya. Oleh karena itu, perang posisi yang terjadi antara Rahmadi yang merepresentasikan intelektual perkotaan berstatus aparatur negara dengan Sinah yang merepresentasikan intelektual pedesaan menemui jalan buntu.
Konsekuensinya, perceraian antara protagonis dengan antagonis dalam LK terjadi dan berimplikasi pada perubahan status sosial budaya mereka. Tindakan Rahmadi bercerai dengan Sinah melanggar PP 10/1983. Realitas fiksi novel LK tersebut berkonteks dengan realitas faktual sistem kepegawaian di Indonesia.
Sebaliknya, perubahan sosio budaya dalam novel MM tidak sampai mengubah perubahan status sosial budaya sebagaimana terjadi dalam novel LK. Perubahan dalam teks dan konteks novel MM bermula dari keharmonisan komunikasi keluarga menghadapi dampak modernisasi. Modernisasi pada awalnya masih berhasil dikendalikan oleh protaginis LK dan MM. Akan tetapi, perang posisi yang terjadi antara ayah dan ibu di satu pihak dengan anak dan teman sebaya di pihak lain berakibat pada keterputusan komunikasi dalam keluarga inti. Akibatnya, muncul prasangka buruk anak terhadap orang tua maupun prasangka buruk orang tua terhadap anak dan teman sebayanya. Secara tekstual, kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan negara yang direpresentasikan institusi pendidikan yang tidak berpihak pada perlindungan anak telah mengakibatkan kehidupan kelas menengah perkotaan mengalami hambatan yang signifikan dalam memenangkan perubahan sosial budaya.
Persoalan anak menjadi masalah dalam proses perubahan sosio budaya, baik dalam teks dan konteks novel LK maupun MM. Di dalam teks dan konteks LK, anak-anak Rahmadi dan Sinah sebagai representasi generasi muda mengalami kegalauan, kehilangan identitas. Pemunculan aksi Mita yang merepresentasikan anak-anak muda yang suka menari breakdance. Breakdance menurut Wikipedia (2015), breakdance,  breaking,  b-boying atau b-girling adalah gaya tari jalanan yang muncul sebagai bagian dari gerakan hip hop di antara African American dan anak muda dari Puerto Rico yang dilakukan di bagian selatan New York City yang brutal pada tahun 1970. Pada umumnya tarian ini diiringi lagu hip hop, rap, atau lagu remix (lagu yang diaransemen ulang).
Pemunculan kenakalan remaja merupakan dampak dari budaya modern yang mengubah pola hidup masyarakat tradisional. Umpamanya, pesona breakdance tahun 1980-an di Kota Medan yang tidak dapat dihindarkan oleh anak-anak muda dari kelas menengah yang disebut oleh masyarakat sebagai OKB. Tari modern ini menjadi pilihan dalam teks dan konteks novel LK. Sementara itu, dalam teks dan konteks novel MM terjadi aksi kenakalan remaja sebagai akibat peredaran film porno. Peredaran film porno di bioskop-bioskop Kota Medan beralih pada produksi CD sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat di rumah masing-masing. Bahkan, muncul pembajakan CD yang masif di berbagai daerah sebagaimana dalam operasi tangkap tangan terhadap penjualan CD porno oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara di beberapa lokasi penjualan CD.
 Secara ideologis, kata-kata untuk merepresentasikan kondisi sosial budaya kelas menengah dalam novel LK karya ARQ memunculkan relasi pemaknaan. Relasi makna kata tersebut muncul dalam bentuk antonim, sinonim, dan hiponim. Antonim dalam novel ini memberi legitimasi pada oposisi gender. Misalnya, “Ya, kita tunggu! Hitam atau putih harus kita tunggu! Merah atau hijau harus kita tunggu!” (LK:137) Kata ‘hitam’ berantonim dengan ‘putih’, ‘merah’ dengan ‘hijau’. Sebaliknya, sinonim terdapat dalam novel LK karya ARQ. Misalnya, “Kan abang sudah bilang, berterus terang adalah jalan satu-satunya yang paling baik supaya segala persoalan akan menjadi terang-benderang.” (LK:139) Pemunculan sinonim ini merupakan antitesis dari pemunculan antonim yang mengacaukan pengutamaan hal yang disebut pertama dalam pasangan antonim tersebut.
Kehiponiman terdapat pada kata-kata “begendak”, “main perempuan”, dan “menciptakan anak haram” sebagai satu kesatuan asosiasif dari kata “menyeleweng”. Kata “menyeleweng” dalam konteks ini berkonotasi penyimpangan hubungan suami-istri, bukan penyimpangan tugas dan kewajiban dalam pekerjaan. Kehiponiman dalam teks LK lebih banyak dipergunakan oleh antagonis terhadap perilaku protagonis.
Di samping penggunaan sinonim, antonim, dan hiponim, majas eufemisme banyak dipergunakan dalam komunikasi kelas menengah. Eufemisme merupakan gaya berbicara yang memunculkan kesan santun dan tidak kejam. Eufemisme tersebut dilakukan untuk penenangan dampak perselingkuhan Rahmadi dengan Warni. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari penggunaan kata-kata “Persahabatan lebih tinggi dari perkahwinan, Warni! Berapa banyak orang yang melakukan perkahwinan tapi tak menemukan persahabatan. Perkahwinan hanya dianggap sebagai alat penyatu bagian kedua makhluk yang berlainan jenis. Hanya perkahwinan raga.” (LK:141) Penjustifikasian terhadap perselingkuhan yang dianggap sebagai persahabatan telah mengekalkan hubungan protagonis dengan Warni.
Kata-kata bernuasa ideologi dalam MM berbeda dengan ideologi dalam novel LK karya ARQ. Ideologi dalam MM dipusatkankan oleh tindakan Melati sebagai anak dari keluarga kelas menengah perkotaan. Di dalam menghadapi progresivitas Melati sebagai representasi anak-anak muda, ibunya yang bernama Dahlia –sebagai  representasi keteladanan ibu- menyiapkan dan memimpin generasi muda tersebut dengan pemilihan kata-kata yang bermakna baik, seperti bangun lebih cepat, lebih cantik, lebih bersih, dan kata-kata yang membangkitkan vitalitas remaja: gejolak, tatapan, wanita, dan laki-laki. Kata-kata tersebut terjalin dengan mengutamakan perasaan yang setoleran-tolerannya dari seorang perempuan dewasa kepada perempuan remaja.
“Mungkin sama dengan keadaanmu sekarang Mel. Dulu ibu juga amat gembira. Ibu bangun lebih cepat dari biasa. Tapi tidak langsung ke kamar mandi. Ibu berkaca di depan cermin berulang kali, mematut-matut wajah dan tubuh ibu. Perasaan saat itu, wajah ibu terasa agak lebih cantik dari sebelumnya. Seperti kata orang, kalau mahu melihat wajah orang yang asli, tunggulah ketika dia bangun tidur! Dan ini bisa ibu buktikan. Wajah ibu memang lebih cantik. Lalu ibu pun  terus mandi bersih-bersih. Habis air satu tong lebih. Padahal biasanya pun  terus mandi bersih-bersih. Habis air satu tong lebih. Padahal biasanya cukup separuh. Waktu itu ibu berfikir, harus lebih bersih dan harus selalu bersih. Lebih bersih. Lebih rapi. Lebih teliti dari hari-hari sebelumnya. Sebab, ibu beranggapan kalau selama ini ibu berpakaian untuk ibu sendiri, mulai saat itu ibu sedar bahawa ibu berpakaian juga untuk orang lain. Semua mata akan memerhatikan. Mel, barangkali kau juga merasakan demikian ketika sekolah tadi. Tidak apa-apa. Itu biasa, hanya naluri wanita cenderung untuk selalu diperhatikan. Jadi perasaan seperti itu lumrah bagi kaum wanita. (MM:19)
Secara ideologis, teks MM menyediakan wacana religiositas, seperti pemunculan kata-kata “hadis”, “hadis Nabi”, dan “hukum alam”. Hal ini relevan dengan latar belakang keluarga Kurnia sebagai representasi keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, pemunculan kalimat: “Dan Tuhan memang adil! Tuhan memang Maha Bijaksana!” (MM:29) Akan tetapi, pemunculan kosakata religius tersebut kontradiksi dengan pemunculan kata negatif dalam kalimat berikut, “Dicubanya mengingat daftar pelajarannya besok. Beberapa saat terhening. Babi! Tidak satu mata pelajaran yang diingatnya.” (MM:50) Pemunculan kata “babi” dalam terminologi kehidupan kelas menengah yang santun dan religius dalam teks MM jelas melanggar etika masyarakat Islam yang berpegang teguh pada ajaran Islam.
Di samping sikap religius dalam percakapan teks dan konteks yang bersisian dengan agama Islam yang dianut mayoritas kelas menengah di Kota Medan, teks MM karya ARQ juga menyediakan antomim dan sinonim. Penggunaan antonim terlihat dengan pemunculan pasangan kata “suami-istri”, dan “tertawa-menangis” sebagai suatu penghancuran terhadap pengutamaan terhadap pemaknaan yang disebut pertama seperti dalam konsep dekonstruksi Derrida. Hal ini dapat diidentifikasi dalam peristiwa berikut.
Menghadap ke halaman, sepasang suami isteri itu sama menatap rumput baldu yang menghampar hijau. Pandangan itu terus melangkah ke pinggir jalan raya. Petang itu, entah kenapa tidak kelihatan kanak-kanak bermain kasti. Padahal biasanya, suara kanak-kanak itu demikian riuh kedengaran. Kadang tertawa. Kadang bertengkar. Lalu tertawa lagi. Lalu ada yang menangis. Kemudian ada pula yang mengetawakan. (MM:34)
Di samping penggunaan antonim, teks MM menyediakan sinonim sebagaimana terjadi dalam dialog di kelas pembelajaran berikut ini.
“Kecil!”
“Mungil!”
“Secuil!”
“Persil!”
“Kantil!”
“Degil!”
“Ha, semua kata-kata itu bermakna kecil!” jelas sang Guru. “Bakhil, cikgu!” seru yang lain. (MM:37)

Bahkan, pengetahuan makna kata dalam teks MM diperkuat oleh pemakaian repetisi sebagaimana dalam peristiwa berikut, “Terlambat bangun. Terlambat menghadap wastafel. Terlambat mandi. Terlambat sarapan. Terlambat pergi ke sekolah. Terlambat mengerjakan pe-er. Pendeknya semua serba terlambat.” (MM:60)
Di samping penggunaan eufemisme, istilah religius, antonim, sinonim, dan repetisi, teks MM menyediakan metafora. Misalnya, “Bukankah sekarang sudah zaman Columbia? Bukan zaman kereta lembu lagi! Begitu kira-kira fikir Melati.” (MM:15) Bahkan, “Lambaian yang membuat dada muda si mungil itu kembali bergelombang, walau tidak sehebat ombak Tanjung Pinang.” (MM:49). Ungkapan lain adalah “si tahi kambing” sebagaimana memperoleh pemaknaan sesuatu yang mirip dalam kutipan berikut ini, “Dulu pernah seorang gadis tetangganya sempat diberi julukan “si tahi kambing”, hanya disebabkan tahi lalat di pipinya semakin membesar.”
Setelah melakukan pembahasan representasi perubahan sosial budaya terhadap teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ  maka terdapat pola hegemonik yang dimunculkan oleh perekacipta dalam novel LK dan MM karya ARQ adalah penggunaan ungkapan tradisional. Di dalam novel LK, muncul metafora, “cicak senggama tidak pernah jatuh!” (LK: 37 dan 207) sedangkan dalam dialog Melati dengan ibunya pada teks MM muncul ungkapan tradisional yang metaforis, “Guru bahasa mengajarkan –Sambil menyelam minum air-, atau –Sekali merangkuh dayung dua tiga pulau terlampaui-“ (MM:147). Bahkan, dalam LK dan MM karya terdapat ungkapan tradisional yang berkonteks dengan ayat Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Misalnya, deskripsi tentang firman Allah berkaitan dengan hubungan suami-istri dalam LK berikut ini.
“Semai ladangmu sesuka hatimu!” Itu sebuah firman.
Kurnia sudah berusaha memugal ladangnya dengan pelbagai cara. Namun lebih sudah tiga belas tahun. Dari musim penghujan, musim rontok ke musim dingin, sampai ke musim kering. Sampai beribu musim yang telah berlalu, namun bibit yang mereka tanam tidak kunjung tumbuh. Padahal ladang tidak salah. Bibir juga tidak salah. (MM:34-35)
            Peristiwa di atas memperlihatkan kesamaan dengan ayat Al-Qur’an dalam menyikapi hubungan suami-istri yang dilakukan oleh Kurnia-Dahlia. Mereka merindukan anak lagi setelah anaknya, Melati, tumbuh menjadi remaja yang bersekolah SMP. Oleh karena itu, Kurnia sebagai kepala keluarga berusaha menjalankan ajaran agama Islam dan menjaga kesehatannya. Pemunculan kalimat, “Semai ladangmu sesuka hatimu!” dalam teks MM berkesejajaran dengan konteks ayat Al Qur’an surat al-Baqarah (2):223.

Artinya:
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Berdasarkan penjelasan di atas, representasi perubahan sosial budaya dalam teks teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ didasarkan atas sikap religius keislaman kelas menengah di Medan. Kelas menengah ini memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Malaysia. Di dalam menghegemoni, aktor perubahan sosial dan budaya dalam kedua novel merepresentasikan diri dengan ungkapan tradisional serta kekuatan eufemisme, repetisi, sinonim, antonim, dan metafora. Perekacipta ingin berbahasa dengan pelambangan, sehingga maksud sebenarnya dari tindakan protagonis dan antagonis teks novel harus dihubungkaitkan dengan situasi kenegaraan dan keislaman di Indonesia dan Malaysia. Dengan demikian, terdapat pola perepresentasian teks dan konteks kedua novel, yakni mengandalkan ungkapan tradisional dalam menghegemoni orang lain.
4.2 Posisi Strategis Kelas Menengah
Perubahan sosiobudaya dalam teks LK dan MM karya ARQ merupakan bagian yang menyatu dengan pemunculan budaya popular di Indonesia, khususnya masyarakat di Kota Medan. Hal ini ditandai dengan pemunculan kelompok. Konteks situasional dan tipe diskursus dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ berasal dari masyarakat Kota Medan pada tahun 1980-an. Secara tekstual, masyarakat Kota Medan sedang mengalami perubahan sosial budaya dari masyarakat agraris yang tradisional menuju masyarakat industri yang modern. Modernitas tersebut ditandai oleh penggunaan penemuan baru, seperti Vesva sebagai moda transportasi elite kelas menengah dan permainan bulutangkis sebagai olahraga popular yang hadir di perkantoran.
Pada hakikatnya, novel MM karya ARQ juga memiliki konteks situasi masyarakat Kota Medan tahun 1980-an. Aspek yang direpresentasikan dalam novel ini adalah perubahan sosial budaya dalam kehidupan kelas menengah partikelir. Hal ini terepresentasi dalam apa yang dihadapi oleh Kurnia dengan istri dan anaknya. Kurnia yang bekerja sebagai pejabat perusahaan swasta perfilman menghadapi perubahan sosial budaya yang cepat dan berpengaruh besar dalam keluarganya. Kurnia sebagai protagonis mendapat bantuan dari Dahlia sebagai istrinya dalam menghadapi progresivitas Melati yang melakukan pemberontakan terhadap fungsi institusi dan model budaya. Melati sendiri didukung oleh remaja yang tergabung dalam kelompok musik bentukannya. Di luar mereka terdapat aparatur pemerintah seperti guru dan dokter serta aparatur swasta seperti pengusaha.
Misalnya, bertanya tentang detail menstruasi, larangan wanita hamil untuk sekolah, dan ketidakterbukaan orang tua dalam menceritakan masalah seksual. Akibat tabu tersebut, remaja mengalami keterbatasan informasi dan ketidaktahuan tempat penyaluran pertanyaan, sehingga remaja terjebak pergaulan bebas dan pemberontakan terhadap budaya bangsanya sendiri.
Di dalam hal ini, perekacipta memberikan solusi menghadapi situasi tersebut dengan hijrah ke Malaysia. Ketika itu, Malaysia dipandang sebagai negara berpenduduk muslim yang taat sehingga dapat mengubah persepsi dan dapat menutup rasa malu yang akan muncul dari kehamilan Melati. Penghijrahan ini menandai denoument dalam penceritaan novel yang bergerak menuju pembentukan institusi sosial dan budaya yang lebih bermartabat. Dengan demikian, proses perubahan sosial budaya dapat dilanjutkan ke arah yang lebih baik dengan proses rehabilitasi korban perubahan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat Kota Medan.
Di antara problematika itu dihadapi oleh Melati, pelajar SMP di Kota Medan, dalam teks MM. Misalnya, Melati bertanya tentang detail menstruasi, larangan wanita hamil untuk tetap sekolah, dan ketidakterbukaan orang tua dalam menceritakan masalah seksual. Akibat tabu tersebut, remaja mengalami keterbatasan informasi dan ketidaktahuan tempat penyaluran pertanyaan, sehingga remaja terjebak dalam pergaulan bebas dan pemberontakan terhadap budaya bangsanya sendiri. Hal ini menjadi permasalahan dalam sistem pendidikan di Indonesia terkait dengan pendidikan seks.
Kehidupan dalam novel LK dan MM yang direkacipta ARQ bersisian dengan kehidupan dalam konteks kewartawanan dan kesastrawanan di Kota Medan. ARQ merekacipta perubahan sosial masyarakat Indonesia yang berterima di Malaysia karena kedua novel tersebut akan diterbitkan oleh Marwilis di Malaysia. Negosiasi produksi novel tersebut terjadi dalam pertemuan sastrawan dari Sumatera Utara dan Utara Malaysia bertajuk “Dialog Utara”.
Penghindaran diri dari konflik SARA menjadikan diskursus dalam novel LK dan MM karya ARQ berkaiteratkan dengan konflik cinta dan keluarga. Praktik kewacanaan yang direkacipta oleh ARQ dalam novel LK berpusat pada perang posisi kepemimpinan dan kepemudaan. Diskursus kepemimpinan menyangkut-pautkan diskursus laki-laki dan perempuan, suami dan istri, anak dan orang tua, serta kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Untuk kelas sosial, keberadaan kelas bawah tidak ditampilkan dalam novel, sehingga terjadi oposisi biner antara kelas menengah dan kelas atas.
Meskipun tidak bertentangan dengan agama dan tetap bersedia memberi nafkah lahir dan batin, tetapi tindakan Rahmadi bertentangan dengan PP 10. Oleh karena itu, Rahmadi harus mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dengan mengundurkan diri sebagai pejabat bank pemerintah.
Pengunduran diri Rahmadi sebagi pejabat bank tidak serta merta menghilangkan status kepemimpinannya. Perang posisi untuk menjadi pemimpin pada rumah tangga yang mereka bina justru semakin memuncak. Baik Rahmadi maupun Sinah bersikeras menjadi penanggung jawab anak-anaknya tanpa ada yang mau mengalah. Pada konteks situasional tersebut, anak menjadi korban kepemimpinan orang tua memasuki kehidupan modern.
Diskursus dalam novel MM karya ARQ berpusat pada kepemimpinan laki-laki yang diperankan oleh Kurnia, pejabat importir film di Kota Medan. Di dalam pola kepemimpinan tersebut, Kurnia lebih mengutamakan pengonsumsian produk budaya material barat, sehingga terjadi proses pemenuhan produk terbaru, misalnya mengganti Vesva dengan Honda atau penyewaan kaset film barat terbaru. Pemenuhan barang konsumsi yang bersifat hedonik ini terbukti memunculkan persepsi kemewahan kelas menengah. Akan tetapi, pemenuhan tersebut memunculkan pengabaian terhadap konsumsi batin, sehingga terjadi ketidakbersambungan arus komunikasi yang efektif. Ketidakefektifan komunikasi ideologis menimbulkan gugatan terhadap kepemimpinan laki-laki. Gugatan dalam novel MM dilakukan oleh perempuan bernama Melati yang berstatus pelajar SMP.
Kepemimpinan laki-laki menjadi pro dan kontra karena tercantum dalam QS al-Nisâ’:34 yang artinya tertera berikut ini.
Kaum laki-laki itu adalah gawwâmûn (pemimpin) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kami khawatiri nusyûz-nya (pelanggaran kewajiban suami istri), nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Berdasarkan penjelasan di atas, ideologi kapitalisme yang dikembangkan oleh perusahaan tempat kelas menengah bekerja tidak disadari oleh Kurnia sebagai faktor sebab kehancuran moralitas bangsanya sendiri, bangsa Indonesia. Hal yang sama terjadi pada kehidupan Rahmadi yang menumbuhkembangkan gaya hidup modern untuk menggantikan gaya hidup tradisional. Oleh karena itu, Kurnia dan Dahlia pun cepat bertindak, yaitu memindahkan Melati untuk sementara waktu ke Malaysia, sebagai hal yang tidak dilakukan oleh Rahmadi yang sama-sama memiliki hubungan kekerabatan dengan warna negara Malaysia. Dengan demikian, kondisi sosial budaya yang terbina di Indonesia tetap terjaga dan berjalan stabil sesuai dengan politik stabilitas nasional pemerintah.
4.3 Hegemoni Kelas Menengah
Hegemoni kelas menengah dalam penelitian ini didasarkan pada teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ. Novel LK dan MM karya ARQ memunculkan hegemoni kelas menengah, baik pada level institusional maupun level sosial. Secara institusional, politik dharma wanita dan stabilitas politik direpresentasikan dalam kehidupan kelas menengah. Sebaliknya, secara sosial terjadi hegemoni negara yang melakukan tindakan represif terhadap rakyat dan secara kultural terjadi hegemoni budaya popular yang menghegemoni budaya tradisional.
a.      Hegemoni Level Sosial Budaya
Hegemoni kelas menengah pada level sosial budaya difokuskan pada dampak perubahan sosial budaya. Konteks LK karya ARQ ditandai oleh kehadiran Dharma Wanita dan  brekadence. Dharma Wanita adalah program negara yang disosialisasikan oleh Rahmadi sebagai representasi pejabat kelas menengah kepada Sinah sebagai istri pejabat bank. Sebaliknya, latihan tari barat modern brekadence adalah program budaya yang dilakukan oleh Mita dan teman-temannya.
Pemberian kebebasan kreatif dari ibu rumah tangga kepada anaknya yang dilakukan tanpa kontrol berdampak negatif. Hal itu terlihat dari pemunculan tari brekadence tahun 1980-an dalam teks dan konteks novel LK di Kota Medan menjadi alternatif kebosanan remaja terhadap tari tradisional Indonesia. Remaja mulai membuat kelompok brekadence meskipun tidak didukung oleh orang-orang tua.
Dari level sosial budaya aparatur negara muncul budaya negatif berbentuk “pamer kekayaan” dan “cari muka”. Hal ini sesuai dengan konteks novel MM karya ARQ terjadi sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan globalisasi budaya barat yang ditopang oleh pemunculan institusi nonformal. Kemajuan teknologi yang ditemukan dalam teks dan konteks MM adalah sepeda motor bebek terbaru, peralatan musik, moda transportasi udara, teknologi pemutar rekaman musik, dan alat pendeteksi kehamilan. Hasil temuan teknologi tersebut menjadi penanda kemewahan masyarakat sehingga menjadi target kepemilikan masyarakat kelas menengah.
b.      Hegemoni Level Institusional
Hegemoni kelas menangah pada level institusional dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ terjadi akibat pembentukan instansi pemerintah dan diikuti oleh instansi swasta selama masa Orde Baru. Pemunculan institusi negara dalam teks dan konteks kehidupan masyarakat Kota Medan. Institusi tersebut antara lain bank dan pertamina, militer, polisi, dan preman, bioskop dan vokal grup, negara Indonesia dan Malaysia, serta institusi wirausaha kost, sudaco (angkutan kota), dan apotek. Bahkan, perekacipta menghadirkan institusi BP-4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian). Kehadiran institusi negara dan swasta tersebut menghegemoni masyarakat untuk bergantung atau berkemandirian. Pilihan pertama dilakukan oleh protagonis, sedangkan pilihan kedua diambil oleh antagonis sejak awal hingga akhir penceritaan novel.
Pemunculan institusi negara untuk menegosiasikan ideologi berdampak buruk pada orang-orang yang tidak sepersepsi. Oleh karena itu, protagonis menerima tawaran pengunduran diri dari pekerjaannya sebagai aparatur negara karena melanggar PP 10. Hegemoni institusi negara dalam teks dan konteks LK dapat dilihat dari kepolisian negara. Polisi yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban kota menjadi institusi alternatif pengaduan dan bukan tempat utama pengaduan.
Penggunaan institusi penjara di Jalan Gandhi Medan sebagai cara investigasi yang bermaksud menghegemoni keberanian orang lain menjadi ketakutan. Akan tetapi, bagi remaja yang tidak terikat kedinasan dengan institusi negara tidak berdampak signifikan karena terjadi perlawanan dari remaja yang tidak takut ditangkap polisi dan tentara. Bahkan, dalam kasus tertentu, institusi negara coba dihindarkan oleh masyarakat, sebagaimana kutipan berikut, “Mengadu ke polisi. Atau dilawan. Pendeknya perbuatan begitu itu salah.” (LK:18)
Sebaliknya, konteks novel MM karya ARQ didominasi oleh sekolah. Sekolah menjadi institusi yang diharapkan oleh masyarakat agar mampu mendidik anak-anaknya. Di samping sekolah, kader-kader kelurahan dalam menggalakkan program PKK dan kader BKKBN menghegemoni wanita. Dahlia sebagai kader Keluarga Berencana menjadi tercela karena hamil lagi pada saat anaknya telah memasuki usia SMP.
c.       Hegemoni Level Sosial
 Hegemoni kelas menengah pada level sosial dalam teks dan konteks novel LK karya ARQ ditandai oleh penerimaan masyarakat terhadap ideologi negara sebagai qonditio sine quanon pada keluarga aparatur sipil negara. Ideologi negara yang berkembang dalam teks dan konteks novel adalah menumbuhkembangkan stabilitas politik dan keamanan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ideologi tersebut dinegosiasikan dalam kegiatan Dharma Wanita dan birokrasi institusi negara.
Pada teks LK, ideologi negara menyusup dalam tindakan intelektual tradisional mendapat perlawanan dari intelektual organik. Intelektual tradisional diposisikan oleh protagonis Rahmadi yang bekerja sebagai pejabat keuangan Bank Surya Emas dan Yunus yang bekerja sebagai staf Bea Cukai. Sebaliknya, intelektual organik diposisikan oleh antagonis Sinah sebagai istri pejabat bank dan Mita sebagai anak pejabat bank.
Akibatnya, masyarakat tidak peduli  terhadap gagasan perubahan sosial budaya yang diperankan oleh kedua pihak. Bahkan, masyarakat membiarkan mereka menyelesaikan skandal perkawinan suami dan anak yang menyalahi hukum. Negara tidak terlibat lagi dalam penghegemonian tersebut meskipun mereka masih berperilaku sebagai penghegemoni yang mendapat sokongan negara.
Kesesuaian ideologi pebisnis dengan ideologi pemerintah menjadikan protagonis Kurnia sebagai representasi aparatur sipil negara yang tidak terikat kedinasan dengan pemerintah. Sebaliknya, antagonis Melati yang melakukan gugatan terhadap institusi negara untuk menciptakan kebebasan berbudaya berposisi sebagai intelektual organik yang peduli dengan aspirasi rakyat.
Sementara itu, hasil teknologi memberi kemudahan masyarakat untuk menonton film, baik di bioskop maupun di rumah. Film-film yang beredar dalam teks dan konteks MM adalah film-film semiporno, bahkan tersedia CD film porno yang dapat ditonton masyarakat di rumah masing-masing. Secara kontekstual, korban dari peredaran film porno ini mendapat sorotan dalam novel. Perekacipta melakukan isolasi terhadap korban. Misalnya, pemindahan korban perubahan sosial budaya ini memberi indikasi telah muncul dampak sosial budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
5. SIMPULAN
Setelah dilakukan pembahasan terhadap novel LK dan MM karya ARQ, ditemukan tiga simpulan. Pertama, proses perubahan sosial budaya dalam novel LK dan MM  karya ARQ terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ditentukan oleh ketahanan budaya dalam keluarga. Proses tersebut dilakukan dalam perang posisi protagonis dan antagonis kelas menengah perkotaan, baik perebutan hegemoni kepemimpinan maupun menyebarluaskan hegemoni gaya hidup modern. Perubahan sosial budaya tersebut menjadikan budaya industri sebagai latar waktu terkini penceritaan, sedangkan budaya agraris sebagai latar flashback penceritaan. Di dalam memberhasilkan proses perubahan terdapat korban peradaban modern yang tidak mampu keluar dari krisis.
Kedua, kelas menengah memiliki posisi yang strategis untuk memproduksi dan mengonsumsi wacana perubahan sosial budaya sesuai dengan praktik interaksional dalam novel LK dan MM karya ARQ. Posisi strategis itu terletak pada kemampuan aktor kelas menengah bernegosiasi dengan masyarakat kelas atas, termasuk pemimpin aparatur sipil negara,  dan keleluasaan menegegosiasikan ideologi pada kelas masyarakat bawah. Kelas menengah dalam teks dan konteks novel rekacipta ARQ ini menempatkan intelektual tradisional dan intelektual organik kelas menengah sebagai orang penting dalam penegosiasian ideologi, baik ideologi pengelolaan negara maupun ideologi pengelolaan bisnis.
Ketiga, hegemoni kelas menengah dalam dinamika perubahan tercitrakan dalam teks dan konteks novel LK dan MM karya ARQ. Pada level sosial muncul dampak negosiasi ideologi negara dalam kegiatan Dharma Wanita dan peredaran produk budaya barat. Hal itu memunculkan sikap pemberontakan dalam diri perempuan sehingga mengganggu stabilitas politik dan keamanan, terutama yang diperankan oleh laki-laki. Pada level institusional terjadi hegemoni aparatur sipil negara yang terintegrasi dalam institusi negara, seperti bank dan bea cukai pada teks dan konteks LK serta sekolah dan importir film pada teks dan konteks MM yang berlokasi di Medan. Pada level sosial terjadi hegemoni kelas menengah yang satu terhadap kelas menengah yang lain. Di satu sisi laki-laki berposisi sebagai intelektual tradisional yang menjalankan ideologi negara dan di sisi yang lain perempuan berposisi sebagi intelektual organik yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, bahkan berisiko melakukan perlawanan terhadap aparatur sipil negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. Ghani. 1984. “Dialog Utara II Memperdalam Persefahaman antara Rakyat Dua Negara yang Serumpun.” Dewan Sastera, Kuala Lumpur, Desember 1984, Halaman 62-63.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publications.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.
Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology. Baltimore: John Hopkins University Press.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Arnold.
Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. Gresik: Boyan Publishing.
Gramsci, Antonio. 1992. Selections from the Prison Notebooks. New York: International Pubslisher.
Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. “Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif.” Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Hanbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kincheloe, Joe L. dan Peter L. Mclaren. 2009. “Mengkaji Ulang Teori Kritis dan Penelitian Kualitatif.” Dalam Norman K. Denzim dan Yvonna S. Lincoln. Hanbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Strokes, Jane. 2003. How to do Media and Cultural Studies. London: SAGE Publications.
Taufik. 2012. Rising Middle Class in Indonesia: Peluang bagi Marketer dan Implikasi bagi Policy Maker, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Qahhar, A. Rahim. 1987. Langit Kirmizi. Kuala Lumpur: Marwilis Publishir Berhad.
Qahhar, A. Rahim. 1988. Melati Merah. Kuala Lumpur: Marwilis Publishir Berhad.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studie: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wikipedia. 2015. Breakdance. Dalam  https://id.wikipedia.org/wiki/Break-dance, diakses 22 Februari 2015.


Keterangan: Ringkasan Tesis Program Pascasarjana FIB USU Medan.